Nama : SETYA RAHAYUNINGSIH
NPM : 1174144
Kelas : EI / C
Semester : IV
JUAL BELI MENIPU
Hadits
Malik 1175
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ
أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“melarang jual beli yg
di dalamnya ada unsur penipuan”[1]
PENJELASAN
HADITS:
Jelaslah pasti diharamkan, menipu saja
dosa apalagi transaksi dengan menipu. Menipu disini bisa saja dengan
menyembunyikan kecacatan atau menyembunyikan dari keadaan (kualitas) yang
sebenarnya. Ini tentunya akan merugiakan pihak pembeli terutama. Kenapa pihak
pembeli dirugikan? Pihak pembeli dirugikan karena pembeli tersebut tidak
mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari barang yang dibelinya atau tidak
sesuai kualitasnya (penjual hanya memperlihatkan sisi bagus dan berkualitas dari
barang dan menyembunyikan kecacatan atau yang kurang baik dari barang yang
dijualnya). Selain pihak pembeli, pihak penjual juga bisa saja akan mengalami
kerugian. Karena bisa jadi ketika sekarang untung, esok akan rugi karena ketika
pembeli yang tertipu tadi
menyebarluaskan fakta yang terjadi kepada pembeli lainnya yang pada akhirnya
akan mengurungkan niatnya untuk berbelanja ke tempat penjual yang melakukan
penipuan tadi.
Ciri-ciri dari jual beli menipu atau
yang biasa disebut dengan ghasya adalah:
·
Penjual sengaja menipu
·
Barang yang dijual display atau tidak sesuai kenyataan
·
Pembeli tidak mengerti
·
Penjual mengambil
untung yang berlipat-lipat (dengan jalan memberitahukan yang bagus-bagusnya dan
menutup-nutupi kecacatannya sehingga menjualnya dengan harga yang berkualitas
tinggi)
Jual beli menipu ini dapat berupa
meletakkan barang yang bagus diatas dan yang jelek dibawah sehingga seolah-olah
barang yang dijual adalah bagus dan pembeli tidak mengetahuinya karena penjual
sengaja menyembunyikan kecacatan tersebut.
Jual beli yang demikian tentunya sangat
merugikan dan dengan tegas telah dilarang oleh Rasulullah Saw pada hadits
tersebut.
JUAL-BELI
GHARAR (SPEKULASI) dan AL-HASHAH[2]
[3]PENJELASAN HADITS:
Kedua hadits diatas sama-sama melarang
adanya jual beli gharar dan hashah, dimana keduanya termasuk jual beli menipu
yang didalamnya ada unsur spekulasi.
Jual-beli gharar adalah jual-beli yang
mengandung unsur spekulasi (tidak ada kejelasan objek jual beli, ukuran dan
harga). Jual beli gharar dan al-hashah dilarang karena tidak adanya kejelasan
dari objek jual-beli, serta supaya pembeli tidak terjebak dalam jual-beli
“Kucing dalam Karung”.
Objek dari jual beli gharar adalah
sesuatu yang belum kelihatan. Contohnya:
ü Jual-beli
burung yang sedang terbang atau kabur dari kandangnya: belum pasti apakah
burung tersebut dapat ditangkap atau tidak. Atau akan kembali ke kandangnyanya
atau tidak.
ü Jual-beli
hewan yang masih dalam kandungan: belum jelas, apakah hewan tersebut nantinya
akan lahir hidup atau mati. Atau sesuai tidak dengan harga yang telah
dibayarkan.
ü Jual-beli
buah dipohon yang terkadang pohonnya menyembunyikan buahnya, ataupun jual beli
buah dalam tanah. Karena tidak dapat dipastikan berapa jumlah atau berat barang
tersebut maka dilarang.
ü Jual-beli
ikan dalam kolam yang dengan air yang masih penuh: tidak terlihat, tidak jelas
berapa jumlah/berat ikannya. Ini dilarang karena dapat menimbulkan kerugian
baik dari sisi penjual maupun pembeli. Untuk penjual bisa saja setelah diambil
ternyata ikannya lebih banyak, yang seharusnya dapat dihargai Rp. 500.000,-
hanya Rp.200.000,- atau untuk pembeli, bisa saja ketika dia membeli dengan
harga Rp 200.000,- ternyata setelah diangkat ikannya lebih banyak dan berat
yang seharusnya dapat Rp. 500.000,-.
Sedangkan
Islam sendiri memberi solusi untuk hal tersebut dimana ketika akan melakukan
jual-beli ikan dalam kolam setidaknya harus dikuras terlebih dahulu airnya
sampai terlihat bentuk dan jumlah ikannya dapat diperkirakan.
Sebaik-baiknya barang yang ditakar harus
ditakar, yang ditimbang harus ditimbang supaya tidak ada penyesalan dalam
jual-belinya (ngomel sendiri).
Untuk jual-beli al-hashah contohnya:
lotre, dengan cara lempar sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dengan harga yang
telah ditentukan dan dibayar diawal. Jual-beli yang demikian tentu sangat
dilarang dalam Islam, dimana bisa saja si pembeli yang mengalami kerugian yaitu
misalnya harganya hanya Rp 15.000,- terus dapat barang dengan harga Rp 45.000,-
maka mengalami kerugian karena harga yang dibayar lebih rendah dari harga
barang atau tidak sesuai. Contoh lainnya adalah membayar untuk lemparan sesuatu
atas sesuatu (tanah), misalnya untuk satu kali lemparan batu dihargai Rp
1.500.000,- padahal belum tentu apakah ketika melempar ternyata mendapatkan panjang
tanah yang sesuai dengan harga tersebut, bisa kurang bahkan lebih. Sehingga
akan menimbulkan kerugian.
Dalam jual-beli gharar kualitas dan
kuantitasnya tidak jelas, jika jual-beli al-hashah harga tidak sesuai dengan
barang. Jual-beli dengan keduanya dilarang karena mengandung spekulasi yang
sangat tinggi.
Dalam hadits yang kedua adanya ancaman Allah bagi orang-orang yang melakukan
penipuan dan sejenisnya termasuk jual beli gharar yaitu ditempatkan di neraka.
AL-SHARF
(PENJUALAN MATA UANG)
PENJELASAN
HADITS:
Dari hadits tersebut dikatakan bahwa
jual beli emas dengan emas, gandum dengan gandum yang merupakan barang ribawi
adalah haram atau dilarang dan disebut sebagai riba, kecuali pembayarannya
harus dilakukan secara tunai, selain itu juga jumlahnya atau nilainya harus
sama (sama kualitas dan kuantitasnya).
Atau hadits lain, Rasulullah Saw
bersabda:
“Janganlah
kalian menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku takut kalian
berbuat riba[4]”
Dalam hadits tersebut ada ketakutan
Rasulullah terhadap kaumnya tentang riba, sehingga beliau melarang menjual satu
dirham dengan dua dirham. Dimana keduanya sama-sama mata uang namun diberi
harga berbeda. Jika sekarang dapat dicontohkan dengan seribu rupiah dengan dua
ribu rupiah maka dilarang. Dan ternyata ketakutan Rasulullah Saw benar adanya,
hal yang demikian banyak terjadi dimasa sekarang terutama di hari-hari raya.
Ada dua pendapat mengenai al-sharf atau
jual-beli mata uang:
Pendapat yang pertama menyatakan bahwa
jual beli ini dilarang, alasannya adalah apabila jual-beli mata uang yang sama
tetapi berbeda jumlahnya contohnya: jual-beli uang Rp.100.000,- pecahan dengan
Rp 100.000 selembar namun dengan kelebihan 10 ribu atau 15 ribu. Hal tersebut
tentu dilarang karena dapat masuk dalam kategori riba, peristiwa ini sering
terjadi disaat hari raya. Untuk menghindari hal tersebut Islam memberi solusi,
hal tersebut dibolehkan yaitu dengan mengubah akadnya bukan dengan harga tapi
upah. Jadi uang 10 ribu atau 15 ribu tersebut dijadikan sebagai upah atas antri
di bank orang yang menjualnya tadi dan harus dilakukan dengan cara cash.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa
jual-beli mata uang ini diperbolehkan karena adanya kepentingan, misalnya
ketika kita ingin pergi keluar negeri, dimana mata uang kita dengan luar negeri
berbeda maka kita perlu menukarkan mata uang kita dengan mata uang luar negeri
tersebut sesuai dengan kurs mata uang yang berlaku dan dilakukan dengan cara
cash. Namun hal ini tidak diperbolehkan apabila diniatkan untuk mencari
keuntungan dengan berspekulasi, misalnya ketika dolar rendah kita menukar
rupiah dengan dolar dan ketika dolar naik maka dijualnya. Hal tersebut
mengandung spekulasi yang sangat tinggi yang sudah jelas bahwa spekulasi itu
dilarang. Selain mengandung spekulasi, yang demikian dapat menyebabkan uang
tidak beredar atau mengalir ke sektor riil serta membuat etos kerja menurun.
Bagaimana dengan orang menjual mata uang
lama dengan mata uang maru dengan nilai yang harga yang berbeda? Misalnya Rp 1
yang sekarang sudah sangat langka dihargai dengan Rp 100.000,- bahkan lebih,
hal tersebut dibolehkan karena nilai Rp 1 itu bukanlah uang tapi komoditi
karena sudah tidak diberlakukan sebagai uang, selain itu juga karena dihargai
memiliki nilai seni atau budaya. Hal tersebut biasa dilakukan oleh para seniman
pengkoleksi mata uang langka.
PAILIT
(TAFLIS)[5]
Rosululloh -Shollallohu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
من أنظر معسرا أو وضع عنه، أظله الله في ظله
“Barangsiapa
memberikan waktu tangguh kepada seorang yang kesulitan atau menghapus (sebagian
atau semua utang orang tersebut) maka Alloh akan menaunginya dalam naungan
(‘Arsy-Nya pada hari kiamat).” (HR. Muslim: 3006)
PENJELASAN
HADITS:
Hadits diatas menjelaskan mengenai
pailit (taflis), yaitu keadaan dimana harta yang dimiliki seseorang lebih kecil
daripada hutangnya (tidak akan bisa melusasi hutangnya). Yang menyatakan
seseorang pailit adalah pengadilan.
Dalam hadits pertama, Rasulullah Saw
memberikan solusi untuk menangani orang yang sedang pailit ialah dengan cara:
ü Memberikan
bantuan kepada orang yang sedang pailit yaitu dengan cara sedekah, sedekah
disini dapat berupa motivasi (suport atau dorongan psikologis)dan juga
finansial. Orang perlu dibantu disini ada 2 macam, yaitu: orang kaya yang jatuh
pailit, dan orang yang pailit.
ü Apabila
ternyata sedekah dari saudara, teman, dan muslim lainnya belum dapat melunasi
atau menutupi hutangnya maka si debitur dapat mengambil barang yang memang bersal
dari dia dan belum berubah bentuk maupun nilainya (masih seperti semula),
artinya apabila sudah dimodifikasi maka tidak boleh diambil. Dan apabila ia
mengambil resikonya tidak boleh ada hitung-hitungan lagi walaupun belum impas,
karena orang yang pailit tentunya dia sangat terguncang dan terpuruk, apabila
hal demikian dilakukan maka (masih ada hitung-hitungan) dikhawatirkan dia akan
semakin terpuruk. Akan lebih baik jika kita mengikhlaskan dan meringankan beban
orang yang terkena pailit tersebut.
ü Apabila
sudah dibantu dengan sedekah kemudian barang-barang sudah tidak ada yang
seperti semula maka cara terakhir adalah dengan lelang. Orang melakukan lelang
tersebut adalah pengampu (orang yang bertanggung jawab atas orang yang pailit,
karena oerang sedang pailit harus berada dibawah pengampuan dan pada hakikatnya
orang yang terkena pailit jiwanya sedikit tergoncang atau sedang terpuruk).
Pengampu ini bisa wali ataupun keluarganya. Dan debitur tidak boleh melelang
karena barang tersebut bukan lagi miliknya.
Adapun
pada hadits kedua Rasulullah Saw. menganjurkan kepada pemberi hutang apabila
yang berhutang tidak mampu membayar hutang pada watu pembayaran makan si
pemberi hutang hendaknya benberikan kelonggaran waktu, apabila sudah diberi
kelonggaran waktu ternyata belum bisa membayar maka alangkah mulianya bila dia
mengikhlaskannya atau menghapus hutangnya. Dan dikatakan bahwa bagi orang yang
demikian akan mendapat naungan dari Allah SWT di akhir zaman nanti.
TATACARA LELANG
Dari Anas bin Malik ra
bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta
sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya, “Apakah di rumahmu tidak
ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada sepotong kain, yang satu dikenakan dan
yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,
“Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang
membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah
seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan harga satu
dirham.” Nabi saw bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih
mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah
seorang sahabat beliau berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.”
Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua
dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.(HR. Tirmizi).
PENJELASAN
HADITS:
Hadits tentang tatacara
lelang ini masih bersangkutan dengan keadaan orang pailit, dimana lelang ini dijadikan
salah satu alternatif atau solusi ketika orang dalam keadaan pailit. Dalam
hadits di atas, Rasulullah Saw berlaku sebagai orang yang melaksanakan lelang
dimana Rasulullah melelang sepotong kain, alas duduk dan cangkir untuk minum
milik lelaki Anshar. Orang yang sedang dalam pengampuan tidak boleh
mentasharufkan/membelanjakan harta yang masih dimilikinya. Ataupun mengalihkan
kepemilikannya kepada orang lain, karena untuk orang yang pailit barang-barang
tersebut bukanlah lagi miliknya. Sehingga dijelaskan bahwa orang melakukan
lelang tersebut adalah pengampunya (bisa wali ataupun keluarganya), yang
kemudian hasil dari lelang tersebut digunakan untuk menutupi atau melunasi
hutang-hutang orang yang pailit. Dan memberikan keyakinan kepada debitur bahwa walaupun
barang-barang miliknya sudah tidak seperti semula dapat dilelang untuk
pengembalian haknya.
Pembagian hasil lelang
dibagikan secara proporsional kepada para debitur. Misalnya, hutang kepada Tn.
A sebesar Rp 2.000.000,- dan Tn. B Rp 1.000.000,- Tn. C Rp 500.000,- sedangkan
hasil dari lelang sebesar Rp 1.400.000,- maka untuk Tn. C mendapat Rp 200.000,-
Tn. B Rp 400.000,- dan Tn. A Rp 800.000,-.
Demikianlah hadits diatas memberi solusi
dan penjelasan untuk tatacara lelang. Adapun bagi orang yang berhutang memiliki
kewajiban membayar, dan ketika dia memiliki keinginan dan usaha untuk membayar
maka Allah akan memudahkan segala urusannya. Sedangkan bagi orang yang enggan/
tidak ada niatan untuk membayar hutangnya makanya di dunia dia akan dijauhi
karena tidak dapat dipercaya ataupun segala urusannya tidak akan berjalan
dengan lancar (akan selalu ada kendala atau masalah) dengan kata lain hidupnya tidak tenang
(susah) dan di akhirat Allah akan mengkurs-kan pahalanya, bila punya pahala
maka dipotong dengan hutangnya bila tidak maka menanggung dosa bagi orang yang
tidak dibayarkan hutangnya. Naudzubillahi min dzaliq..!! semoga kita tidak
termasuk digolongan itu dan semoga Allah SWT. Melimpahkan berkah dan rahmat-Nya
kepada kita umat-Nya. Aamiin..
TITIPAN
(WADI’AH)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda[6]:
“Sampaikanlah(tunaikanlah)
amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang
yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawuud dan
menurut Tirmidzi hadits ini hasan,sedang Imam Hakim mengkategorikannya sahih)
PENJELASAN
HADITS:
Dari hadits tersebut diatas bahwasanya
kita umat Islam diperintahkan untuk menyampaikan amanah. Bentuk amanah tidak
ada pengecualian (apasaja/ barang ataupun janji). Tunaikanlah amanah berarti
perintah untuk menjaga amanah (menjaga lebih dari menjaga milik sendiri) dan menyampaikannya.
Karena titipan (wadi’ah) merupakan bentuk kepercayaan orang lain kepada kita.
Oleh sebab itu kita harus menunaikannya supaya orang yang telah memberikan
kepercayaan kepada kita tetap percaya dan tidak kecewa.
“Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga perkara (yaitu), bila berbicara ia dusta, bila
berjanji ia mengingkari, dan bila diberi amanah (dipercaya) ia khianat.” (HR.
Ibnu Babawaih)[7].
Apabila orang yang diberi amanat tidak
menunaikannya maka dia disebut sebagai hipokrit (munafik).
Selain itu, tujuan dari hadits tersebut
adalah supaya tidak ada orang yang berkhianat sehingga dapat dipercaya. Karena
sebelumnya ada kekhawatiran Rasulullah Saw. kepada kaumnya yang nantinya tidak
ada kaum yang dapat dipercaya karena semuanya berkhianat. Apabila orang yang
dihianati balas berhianat pada akhirnya tidak akan ada orang yang dapat
dipercaya karena semuanya berkhianat. Naudzubillahi min dzaliq. Oleh sebab itu,
dalam hadits diperintahkan kepada kita semua untuk menunaikan amanat.
Adapun bagi seorang yang merasa tidak
mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan
merusak atau menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan
dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia
merasa mampu untuk menjaganya.
Sebelum kita menerima amanatpun kita
harus menyeleksinya dan waspada karena siapa tahu titipan tersebut adalah
barang terlarang, apabila kita tidak sanggup sebelum menerimanya kita dapat
menolaknya. Karena bisa saja amanat yang diberikan ternyata justru tidak sesuai
dengan syar’i, contohnya: ada seseorang menitipkan motor dan ternyata motor itu
adalah hasil curian maka sebelumnya kita harus waspada dan menolaknya.
Bagi orang yang menerima titipan berarti
dia menyanggupi dan siap menjaga atau siap bertanggung jawab atas barang/janji
yang dititipkan sampai ia menunaikannya (dapat berupa mengantarkan/menyerahkan
ataupun menunggu/yang punya mengambil) kepada orang yang berhak menerimanya
atau sampai pada batas waktu yang ditentukan. Apabila yang menitipkan tidak
mengambil maka yang diberi titipan harus mengingatkan. Bertanggungjawab disini
adalah bertanggungjawab atas kemungkinan resiko yang terjadi.
Barang titipan tidak boleh dimanfaatkan
kecuali ada ijin dan omongan diawal bahwa si penerima titipan boleh
memanfaatkannya, batas pemanfaatannya pun harus jelas. Biasanya untuk benda
hidup seperti hewan peliharaan si pemberi titipan akan memberikan titipan
sekaligus makanannya.
Apabila terjadi kelalaian terhadap
barang titipan, misalnya si penerima titipan lupa memberikan makan padahal si
pemberi titipan sudah menitipkannya beserta makanannya maka si penerima titipan
harus menggantinya (bertanggungjawab). Namun apabila bukan karena kelalaiannya
misalnya binatang tersebut mati karena tertabrak mobil maka ia tidak perlu
mengganti rugi karena biasanya si pemberi titipan akan memakluminya.
PERJANJIAN
DAMAI
Hadits
Nabi Riwayat Tirmidzi:
“Perdamaian
dapat dilakukan diantara kaum muslimin,
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)[8]
PENJELASAN
HADITS:
Dalam hadits tersebut perjanjian damai
diperbolehkan dengan syarat tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal atau bertentangan dengan aturan. Dalam suatu perjanjian, untuk orang yang
sedang bermusuhan disebut perdamaian sedangkan untuk orang yang sedang tidak
bermusuhan disebut kesepakatan.
Contoh dari isi perjanjian yang
menghalalkan yang haram adalah: antara investor dengan pemilik toko, “Saya mau
bekerjasama dengan anda asalkandi toko anda menjual produk yang keuntungannya
besar walaupun ilegal”. Ataupun antara kontraktor dengan pemborong maupun
pekerjanya, “Saya mau bekerjasama dengan anda asalkan besi dalam setiap
tiangnya dikurangi satu” itu berarti menghalalkan yang haram yaitu tindakan
mengambil hak milik orang lain (korupsi). Bisa juga antara aparat penegak hukum
dengan tersangka, “Saya mau membebaskan anda asalkan anda mau membayar sebesar
Rp 15.000.000,-“ hal ini masuk dalam hal suap menyuap yang diharamkan.
Untuk contoh isi perjanjian damai yang
mengharamkan yang halal adalah, seorang pekerja dengan manager atau pemilik
toko, “Kamu boleh bekerja disini tapi kamu tidak boleh shalat (tidak ada waktu
shalat)” atau “Kamu boleh bekerja disini tapi kamu harus lepas kerudung” hal
ini menlanggar kewajiban, yaitu menutup aurat dan kewajiban untuk melaksanakan
shalat, ini berarti mengharamkan yang halal. Itulah beberapa contoh syarat
perjanjian yang tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, ketika kita akan
mengadakan suatu perjanjian damai kita harus berhati-hati dalam membuat
kesepakatan atau syarat, karena syarat yang ada didalamnya harus/wajib
dilaksanakan. Selain itu, untuk membuat suatu perjanjian haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu, diantaranya yaitu: dewasa, tidak gila, cakap, tidak
berada dalam pengampuan. Sehingga apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka perjanjian damai tersebut batal/cacat atau berakhir.
[4]Veithzal Rivai dan Arviyan Aririn, Islamic
Banking, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. 1, hlm.68
[7]M. Nadratuzzaman Hosen, AM. Hasan Ali,dkk, Khutbah Jum’at Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PKES, 2008), hlm.31
[8]Veithzal Rivai dan Arviyan Aririn, Islamic
Banking, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. 1, hlm.84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar