Minggu, 30 Juni 2013

tugas hadits


Nama         : SETYA RAHAYUNINGSIH
NPM          : 1174144
Kelas          : EI / C
Semester     : IV
JUAL BELI MENIPU
Hadits Malik 1175
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“melarang jual beli yg di dalamnya ada unsur penipuan”[1]
PENJELASAN HADITS:
Jelaslah pasti diharamkan, menipu saja dosa apalagi transaksi dengan menipu. Menipu disini bisa saja dengan menyembunyikan kecacatan atau menyembunyikan dari keadaan (kualitas) yang sebenarnya. Ini tentunya akan merugiakan pihak pembeli terutama. Kenapa pihak pembeli dirugikan? Pihak pembeli dirugikan karena pembeli tersebut tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari barang yang dibelinya atau tidak sesuai kualitasnya (penjual hanya memperlihatkan sisi bagus dan berkualitas dari barang dan menyembunyikan kecacatan atau yang kurang baik dari barang yang dijualnya). Selain pihak pembeli, pihak penjual juga bisa saja akan mengalami kerugian. Karena bisa jadi ketika sekarang untung, esok akan rugi karena ketika pembeli yang  tertipu tadi menyebarluaskan fakta yang terjadi kepada pembeli lainnya yang pada akhirnya akan mengurungkan niatnya untuk berbelanja ke tempat penjual yang melakukan penipuan tadi.
Ciri-ciri dari jual beli menipu atau yang biasa disebut dengan ghasya adalah:
·         Penjual sengaja menipu
·         Barang yang dijual display atau tidak sesuai kenyataan
·         Pembeli tidak mengerti
·         Penjual mengambil untung yang berlipat-lipat (dengan jalan memberitahukan yang bagus-bagusnya dan menutup-nutupi kecacatannya sehingga menjualnya dengan harga yang berkualitas tinggi)
Jual beli menipu ini dapat berupa meletakkan barang yang bagus diatas dan yang jelek dibawah sehingga seolah-olah barang yang dijual adalah bagus dan pembeli tidak mengetahuinya karena penjual sengaja menyembunyikan kecacatan tersebut.
Jual beli yang demikian tentunya sangat merugikan dan dengan tegas telah dilarang oleh Rasulullah Saw pada hadits tersebut.

JUAL-BELI GHARAR (SPEKULASI) dan AL-HASHAH[2]

[3]PENJELASAN HADITS:
Kedua hadits diatas sama-sama melarang adanya jual beli gharar dan hashah, dimana keduanya termasuk jual beli menipu yang didalamnya ada unsur spekulasi.
Jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur spekulasi (tidak ada kejelasan objek jual beli, ukuran dan harga). Jual beli gharar dan al-hashah dilarang karena tidak adanya kejelasan dari objek jual-beli, serta supaya pembeli tidak terjebak dalam jual-beli “Kucing dalam Karung”.
Objek dari jual beli gharar adalah sesuatu yang belum kelihatan. Contohnya:
ü  Jual-beli burung yang sedang terbang atau kabur dari kandangnya: belum pasti apakah burung tersebut dapat ditangkap atau tidak. Atau akan kembali ke kandangnyanya atau tidak.
ü  Jual-beli hewan yang masih dalam kandungan: belum jelas, apakah hewan tersebut nantinya akan lahir hidup atau mati. Atau sesuai tidak dengan harga yang telah dibayarkan.
ü  Jual-beli buah dipohon yang terkadang pohonnya menyembunyikan buahnya, ataupun jual beli buah dalam tanah. Karena tidak dapat dipastikan berapa jumlah atau berat barang tersebut maka dilarang.
ü  Jual-beli ikan dalam kolam yang dengan air yang masih penuh: tidak terlihat, tidak jelas berapa jumlah/berat ikannya. Ini dilarang karena dapat menimbulkan kerugian baik dari sisi penjual maupun pembeli. Untuk penjual bisa saja setelah diambil ternyata ikannya lebih banyak, yang seharusnya dapat dihargai Rp. 500.000,- hanya Rp.200.000,- atau untuk pembeli, bisa saja ketika dia membeli dengan harga Rp 200.000,- ternyata setelah diangkat ikannya lebih banyak dan berat yang seharusnya dapat Rp. 500.000,-.
Sedangkan Islam sendiri memberi solusi untuk hal tersebut dimana ketika akan melakukan jual-beli ikan dalam kolam setidaknya harus dikuras terlebih dahulu airnya sampai terlihat bentuk dan jumlah ikannya dapat diperkirakan.

Sebaik-baiknya barang yang ditakar harus ditakar, yang ditimbang harus ditimbang supaya tidak ada penyesalan dalam jual-belinya (ngomel sendiri).
Untuk jual-beli al-hashah contohnya: lotre, dengan cara lempar sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dengan harga yang telah ditentukan dan dibayar diawal. Jual-beli yang demikian tentu sangat dilarang dalam Islam, dimana bisa saja si pembeli yang mengalami kerugian yaitu misalnya harganya hanya Rp 15.000,- terus dapat barang dengan harga Rp 45.000,- maka mengalami kerugian karena harga yang dibayar lebih rendah dari harga barang atau tidak sesuai. Contoh lainnya adalah membayar untuk lemparan sesuatu atas sesuatu (tanah), misalnya untuk satu kali lemparan batu dihargai Rp 1.500.000,- padahal belum tentu apakah ketika melempar ternyata mendapatkan panjang tanah yang sesuai dengan harga tersebut, bisa kurang bahkan lebih. Sehingga akan menimbulkan kerugian.
Dalam jual-beli gharar kualitas dan kuantitasnya tidak jelas, jika jual-beli al-hashah harga tidak sesuai dengan barang. Jual-beli dengan keduanya dilarang karena mengandung spekulasi yang sangat tinggi.
Dalam hadits yang kedua adanya  ancaman Allah bagi orang-orang yang melakukan penipuan dan sejenisnya termasuk jual beli gharar yaitu ditempatkan di neraka.

AL-SHARF (PENJUALAN MATA UANG)


PENJELASAN HADITS:
Dari hadits tersebut dikatakan bahwa jual beli emas dengan emas, gandum dengan gandum yang merupakan barang ribawi adalah haram atau dilarang dan disebut sebagai riba, kecuali pembayarannya harus dilakukan secara tunai, selain itu juga jumlahnya atau nilainya harus sama (sama kualitas dan kuantitasnya).
Atau hadits lain, Rasulullah Saw bersabda:
Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku takut kalian berbuat riba[4]
Dalam hadits tersebut ada ketakutan Rasulullah terhadap kaumnya tentang riba, sehingga beliau melarang menjual satu dirham dengan dua dirham. Dimana keduanya sama-sama mata uang namun diberi harga berbeda. Jika sekarang dapat dicontohkan dengan seribu rupiah dengan dua ribu rupiah maka dilarang. Dan ternyata ketakutan Rasulullah Saw benar adanya, hal yang demikian banyak terjadi dimasa sekarang terutama di hari-hari raya.
Ada dua pendapat mengenai al-sharf atau jual-beli mata uang:
Pendapat yang pertama menyatakan bahwa jual beli ini dilarang, alasannya adalah apabila jual-beli mata uang yang sama tetapi berbeda jumlahnya contohnya: jual-beli uang Rp.100.000,- pecahan dengan Rp 100.000 selembar namun dengan kelebihan 10 ribu atau 15 ribu. Hal tersebut tentu dilarang karena dapat masuk dalam kategori riba, peristiwa ini sering terjadi disaat hari raya. Untuk menghindari hal tersebut Islam memberi solusi, hal tersebut dibolehkan yaitu dengan mengubah akadnya bukan dengan harga tapi upah. Jadi uang 10 ribu atau 15 ribu tersebut dijadikan sebagai upah atas antri di bank orang yang menjualnya tadi dan harus dilakukan dengan cara cash.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa jual-beli mata uang ini diperbolehkan karena adanya kepentingan, misalnya ketika kita ingin pergi keluar negeri, dimana mata uang kita dengan luar negeri berbeda maka kita perlu menukarkan mata uang kita dengan mata uang luar negeri tersebut sesuai dengan kurs mata uang yang berlaku dan dilakukan dengan cara cash. Namun hal ini tidak diperbolehkan apabila diniatkan untuk mencari keuntungan dengan berspekulasi, misalnya ketika dolar rendah kita menukar rupiah dengan dolar dan ketika dolar naik maka dijualnya. Hal tersebut mengandung spekulasi yang sangat tinggi yang sudah jelas bahwa spekulasi itu dilarang. Selain mengandung spekulasi, yang demikian dapat menyebabkan uang tidak beredar atau mengalir ke sektor riil serta membuat etos kerja menurun.
Bagaimana dengan orang menjual mata uang lama dengan mata uang maru dengan nilai yang harga yang berbeda? Misalnya Rp 1 yang sekarang sudah sangat langka dihargai dengan Rp 100.000,- bahkan lebih, hal tersebut dibolehkan karena nilai Rp 1 itu bukanlah uang tapi komoditi karena sudah tidak diberlakukan sebagai uang, selain itu juga karena dihargai memiliki nilai seni atau budaya. Hal tersebut biasa dilakukan oleh para seniman pengkoleksi mata uang langka.
PAILIT (TAFLIS)[5]

Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
من أنظر معسرا أو وضع عنه، أظله الله في ظله
“Barangsiapa memberikan waktu tangguh kepada seorang yang kesulitan atau menghapus (sebagian atau semua utang orang tersebut) maka Alloh akan menaunginya dalam naungan (‘Arsy-Nya pada hari kiamat).” (HR. Muslim: 3006)
PENJELASAN HADITS:
Hadits diatas menjelaskan mengenai pailit (taflis), yaitu keadaan dimana harta yang dimiliki seseorang lebih kecil daripada hutangnya (tidak akan bisa melusasi hutangnya). Yang menyatakan seseorang pailit adalah pengadilan.
Dalam hadits pertama, Rasulullah Saw memberikan solusi untuk menangani orang yang sedang pailit ialah dengan cara:
ü  Memberikan bantuan kepada orang yang sedang pailit yaitu dengan cara sedekah, sedekah disini dapat berupa motivasi (suport atau dorongan psikologis)dan juga finansial. Orang perlu dibantu disini ada 2 macam, yaitu: orang kaya yang jatuh pailit, dan orang yang pailit.
ü  Apabila ternyata sedekah dari saudara, teman, dan muslim lainnya belum dapat melunasi atau menutupi hutangnya maka si debitur dapat mengambil barang yang memang bersal dari dia dan belum berubah bentuk maupun nilainya (masih seperti semula), artinya apabila sudah dimodifikasi maka tidak boleh diambil. Dan apabila ia mengambil resikonya tidak boleh ada hitung-hitungan lagi walaupun belum impas, karena orang yang pailit tentunya dia sangat terguncang dan terpuruk, apabila hal demikian dilakukan maka (masih ada hitung-hitungan) dikhawatirkan dia akan semakin terpuruk. Akan lebih baik jika kita mengikhlaskan dan meringankan beban orang yang terkena  pailit tersebut.
ü  Apabila sudah dibantu dengan sedekah kemudian barang-barang sudah tidak ada yang seperti semula maka cara terakhir adalah dengan lelang. Orang melakukan lelang tersebut adalah pengampu (orang yang bertanggung jawab atas orang yang pailit, karena oerang sedang pailit harus berada dibawah pengampuan dan pada hakikatnya orang yang terkena pailit jiwanya sedikit tergoncang atau sedang terpuruk). Pengampu ini bisa wali ataupun keluarganya. Dan debitur tidak boleh melelang karena barang tersebut bukan lagi miliknya.
Adapun pada hadits kedua Rasulullah Saw. menganjurkan kepada pemberi hutang apabila yang berhutang tidak mampu membayar hutang pada watu pembayaran makan si pemberi hutang hendaknya benberikan kelonggaran waktu, apabila sudah diberi kelonggaran waktu ternyata belum bisa membayar maka alangkah mulianya bila dia mengikhlaskannya atau menghapus hutangnya. Dan dikatakan bahwa bagi orang yang demikian akan mendapat naungan dari Allah SWT di akhir zaman nanti.

TATACARA LELANG

Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata, “Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.(HR. Tirmizi).

PENJELASAN HADITS:
Hadits tentang tatacara lelang ini masih bersangkutan dengan keadaan orang pailit, dimana lelang ini dijadikan salah satu alternatif atau solusi ketika orang dalam keadaan pailit. Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw berlaku sebagai orang yang melaksanakan lelang dimana Rasulullah melelang sepotong kain, alas duduk dan cangkir untuk minum milik lelaki Anshar. Orang yang sedang dalam pengampuan tidak boleh mentasharufkan/membelanjakan harta yang masih dimilikinya. Ataupun mengalihkan kepemilikannya kepada orang lain, karena untuk orang yang pailit barang-barang tersebut bukanlah lagi miliknya. Sehingga dijelaskan bahwa orang melakukan lelang tersebut adalah pengampunya (bisa wali ataupun keluarganya), yang kemudian hasil dari lelang tersebut digunakan untuk menutupi atau melunasi hutang-hutang orang yang pailit. Dan memberikan keyakinan kepada debitur bahwa walaupun barang-barang miliknya sudah tidak seperti semula dapat dilelang untuk pengembalian haknya.
Pembagian hasil lelang dibagikan secara proporsional kepada para debitur. Misalnya, hutang kepada Tn. A sebesar Rp 2.000.000,- dan Tn. B Rp 1.000.000,- Tn. C Rp 500.000,- sedangkan hasil dari lelang sebesar Rp 1.400.000,- maka untuk Tn. C mendapat Rp 200.000,- Tn. B Rp 400.000,- dan Tn. A Rp 800.000,-.
Demikianlah hadits diatas memberi solusi dan penjelasan untuk tatacara lelang. Adapun bagi orang yang berhutang memiliki kewajiban membayar, dan ketika dia memiliki keinginan dan usaha untuk membayar maka Allah akan memudahkan segala urusannya. Sedangkan bagi orang yang enggan/ tidak ada niatan untuk membayar hutangnya makanya di dunia dia akan dijauhi karena tidak dapat dipercaya ataupun segala urusannya tidak akan berjalan dengan lancar (akan selalu ada kendala atau masalah)  dengan kata lain hidupnya tidak tenang (susah) dan di akhirat Allah akan mengkurs-kan pahalanya, bila punya pahala maka dipotong dengan hutangnya bila tidak maka menanggung dosa bagi orang yang tidak dibayarkan hutangnya. Naudzubillahi min dzaliq..!! semoga kita tidak termasuk digolongan itu dan semoga Allah SWT. Melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita umat-Nya. Aamiin..

TITIPAN (WADI’AH)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda[6]:
“Sampaikanlah(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawuud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan,sedang Imam Hakim mengkategorikannya sahih)

PENJELASAN HADITS:
Dari hadits tersebut diatas bahwasanya kita umat Islam diperintahkan untuk menyampaikan amanah. Bentuk amanah tidak ada pengecualian (apasaja/ barang ataupun janji). Tunaikanlah amanah berarti perintah untuk menjaga amanah (menjaga lebih dari menjaga milik sendiri) dan menyampaikannya. Karena titipan (wadi’ah) merupakan bentuk kepercayaan orang lain kepada kita. Oleh sebab itu kita harus menunaikannya supaya orang yang telah memberikan kepercayaan kepada kita tetap percaya dan tidak kecewa.
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga perkara (yaitu), bila berbicara ia dusta, bila berjanji ia mengingkari, dan bila diberi amanah (dipercaya) ia khianat.” (HR. Ibnu Babawaih)[7].
Apabila orang yang diberi amanat tidak menunaikannya maka dia disebut sebagai hipokrit (munafik).
Selain itu, tujuan dari hadits tersebut adalah supaya tidak ada orang yang berkhianat sehingga dapat dipercaya. Karena sebelumnya ada kekhawatiran Rasulullah Saw. kepada kaumnya yang nantinya tidak ada kaum yang dapat dipercaya karena semuanya berkhianat. Apabila orang yang dihianati balas berhianat pada akhirnya tidak akan ada orang yang dapat dipercaya karena semuanya berkhianat. Naudzubillahi min dzaliq. Oleh sebab itu, dalam hadits diperintahkan kepada kita semua untuk menunaikan amanat.
Adapun bagi seorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia merasa mampu untuk menjaganya.
Sebelum kita menerima amanatpun kita harus menyeleksinya dan waspada karena siapa tahu titipan tersebut adalah barang terlarang, apabila kita tidak sanggup sebelum menerimanya kita dapat menolaknya. Karena bisa saja amanat yang diberikan ternyata justru tidak sesuai dengan syar’i, contohnya: ada seseorang menitipkan motor dan ternyata motor itu adalah hasil curian maka sebelumnya kita harus waspada dan menolaknya.
Bagi orang yang menerima titipan berarti dia menyanggupi dan siap menjaga atau siap bertanggung jawab atas barang/janji yang dititipkan sampai ia menunaikannya (dapat berupa mengantarkan/menyerahkan ataupun menunggu/yang punya mengambil) kepada orang yang berhak menerimanya atau sampai pada batas waktu yang ditentukan. Apabila yang menitipkan tidak mengambil maka yang diberi titipan harus mengingatkan. Bertanggungjawab disini adalah bertanggungjawab atas kemungkinan resiko yang terjadi.
Barang titipan tidak boleh dimanfaatkan kecuali ada ijin dan omongan diawal bahwa si penerima titipan boleh memanfaatkannya, batas pemanfaatannya pun harus jelas. Biasanya untuk benda hidup seperti hewan peliharaan si pemberi titipan akan memberikan titipan sekaligus makanannya.
Apabila terjadi kelalaian terhadap barang titipan, misalnya si penerima titipan lupa memberikan makan padahal si pemberi titipan sudah menitipkannya beserta makanannya maka si penerima titipan harus menggantinya (bertanggungjawab). Namun apabila bukan karena kelalaiannya misalnya binatang tersebut mati karena tertabrak mobil maka ia tidak perlu mengganti rugi karena biasanya si pemberi titipan akan memakluminya.

PERJANJIAN DAMAI

Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi:
Perdamaian dapat dilakukan diantara  kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)[8]

PENJELASAN HADITS:
Dalam hadits tersebut perjanjian damai diperbolehkan dengan syarat tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal atau bertentangan dengan aturan. Dalam suatu perjanjian, untuk orang yang sedang bermusuhan disebut perdamaian sedangkan untuk orang yang sedang tidak bermusuhan disebut kesepakatan.
Contoh dari isi perjanjian yang menghalalkan yang haram adalah: antara investor dengan pemilik toko, “Saya mau bekerjasama dengan anda asalkandi toko anda menjual produk yang keuntungannya besar walaupun ilegal”. Ataupun antara kontraktor dengan pemborong maupun pekerjanya, “Saya mau bekerjasama dengan anda asalkan besi dalam setiap tiangnya dikurangi satu” itu berarti menghalalkan yang haram yaitu tindakan mengambil hak milik orang lain (korupsi). Bisa juga antara aparat penegak hukum dengan tersangka, “Saya mau membebaskan anda asalkan anda mau membayar sebesar Rp 15.000.000,-“ hal ini masuk dalam hal suap menyuap yang diharamkan.
Untuk contoh isi perjanjian damai yang mengharamkan yang halal adalah, seorang pekerja dengan manager atau pemilik toko, “Kamu boleh bekerja disini tapi kamu tidak boleh shalat (tidak ada waktu shalat)” atau “Kamu boleh bekerja disini tapi kamu harus lepas kerudung” hal ini menlanggar kewajiban, yaitu menutup aurat dan kewajiban untuk melaksanakan shalat, ini berarti mengharamkan yang halal. Itulah beberapa contoh syarat perjanjian yang tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, ketika kita akan mengadakan suatu perjanjian damai kita harus berhati-hati dalam membuat kesepakatan atau syarat, karena syarat yang ada didalamnya harus/wajib dilaksanakan. Selain itu, untuk membuat suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya yaitu: dewasa, tidak gila, cakap, tidak berada dalam pengampuan. Sehingga apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian damai tersebut batal/cacat atau berakhir.




[4]Veithzal Rivai dan Arviyan Aririn, Islamic Banking, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. 1, hlm.68
[7]M. Nadratuzzaman Hosen, AM. Hasan Ali,dkk, Khutbah Jum’at Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PKES, 2008), hlm.31
[8]Veithzal Rivai dan Arviyan Aririn, Islamic Banking, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. 1, hlm.84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar