Minggu, 30 Juni 2013

tugas hadits 1


RIBA
Larangan riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam 4 tahapan:
1.      Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong  mereka yang memerlukan sebagai suatu  perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
39. dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).


2.      Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yang Yahudi yang memakan riba.
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym öNÍköŽn=tã BM»t7ÍhŠsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZŽÏWx. ÇÊÏÉÈ   ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ  
160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

3.      Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda (berdasarkan keadaan saat diturunkannya ayat banyak dipraktikkan pengambilan riba dengan tingkat cukup tinggi)
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda [228] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

4.      Allah SWT dengan tegas dan jelas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba)

Ayat lain mengenai riba adalah : QS. Al-Baqarah: 276.

Larangan riba dalam Hadits:
Jabir berkata bahwa Rasulullah Saw, mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan 2 orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu berstatus hukum sama”” (HR. Muslim no. 2995, kitab al-Masaqqah).
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima , membayarnya, mencatat dan 2 orang saksi dalam riba tersebut yang mereka itu status hukumnya sama.

Hadits lainnya:
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”.
Penjelasan hadits:
Bahwasanya ketika kita melakukan pertukaran barang haruslah dilakukan dengan barang yang sejenis, dimana kualitas dan kuantitasnya sama seperti yang disebutkan diatas yaitu: emas dengan emas, perak dengan perak, dan seterusnya dalam hal ini, apabila menjual emas dengan emas namun dengan takaran atau kadar yang tidak sama maka dapat disebut sebagai riba. Pengharaman juga berlaku untuk menjual gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang tidak dilakukan secara kontan (cash) dari tangan ke tangan juga dengan kualitas maupun kuantitas yang berbeda serta dilakukan sebelum pembeli dan penjual berpisah dari tempat akad. Selain itu dalam melakukan pertukaran tersebut tidak boleh dengan adanya tambahan, tambahan disini disebut dengan riba hal tersebut mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad. Baik penerima maupun pemberi tambahan tersebut sama-sama bersalah. Bahkan dalam hadits lain dikatakan bahwa Rasulullah memasukkan Riba ke dalam klasifikasi 7 dosa besar.
Dari Abu Hurairah ra. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Hindarilah 7 dosa besar yang mencelakakan!” Kepada Rasulullah ditanyakan: “Apa dosa-dosa besar yang dimaksud wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya secara tanpa hak, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan pertempuran dan mencemarkan nama baik wanita mukmin yang lengah.” (Riwayat Jamaah Ahli Hadis dan Lafal ini adalah lafal Muslim)[1].
Dosa dari riba itu sendiri dikatakan lebih besar dari sisi Allah daripada tiga puluh tiga perzinaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dalam Islam (HR. Al-Hakim), dan Rasulullah Saw mengisyaratkan bahwa akan datang adzab dan siksa yang merata dari Allah karena praktek ribawi yang meluas dan dibiarkan tanpa peringatan dan pencegahan sama sekali:
Apabila Riba dan Perzinaan telah muncul disuatu daerah berarti mereka telah menghalalkan bagi dirinya adzab dan siksa (dari Allah).” (HR. Al-Hakim)[2].
Islam memperkeras persoalan pengharaman riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Pengaruh riba begitu buruk bagi seluruh umat. Contohnya: ketika seseorang bergantung kepada riba maka akan menghalangi dari kesibukan bekerja, karena ia yakin bahwa dengan melalui riba ia akan memperoleh tambahan uang baik kontan maupun berjangka, maka ia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan sehingga hampir-hampir ia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Hal semacam itu tentunya dapat memutus bahan keperluan masyarakat[3].
Hendaknya setelah kita mengetahui begitu besar dampak dari riba itu sendiri, seperti adanya pihak yang terzolimi, ancaman dan siksa Allah yang merata untuk orang-orang yang menghalalkan riba kita segera menghindari dan menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang berhubungan dengan riba.



BORG (Jaminan Hutang)
Ayat yang berkaitan: QS. Al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Ayat diatas merupakan sebuah anjuran bagi orang yang sedang melaksanakan muamalah tidak secara tunai dan tidak ada juru tulis maka harus ada borg (barang jaminan) apabila keduanya saling tidak mempercayai, sedangkan apabila keduanya saling mempercayai maka hendaknya keduanya itu menunaikan amanatnya yaitu membayar hutang. Kepercayaan yang paling sempurna ialah jika barang yang digadai berada ditangan orang yang memberi hutang atau menerima gadai. Dengan kata lain, keadilan yang diridhoi kedua belah pihak ialah jika barang yang digadaikan berada ditangan orang yang menerima gadai. Jika barang yang digadaikan tidak berada ditangannya, gadai juga tetap sah, tapi faedahnya berkurang. Sebab Allah telah menuntun kepada keadaan yang paling sempurna dan dapat dipercaya[4], dengan berfirman,
Hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
Hadits :
Abu Hurairah ra. Berkata bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemiliknya yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggungjawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya)” (HR. Syafi’i dan Darutni).
Penjelasan hadits:
Dijelaskan bahwa barang jaminan atau borg tersebut tidak boleh ditutupi dari pemiliknya, dalam artian berarti yang bertanggung jawab atas borg tersebut baik dalam hal pemeliharaan atau perawatan maupun apabila terjadi kerusakan adalah si pemilik borg atau peminjam. Hal ini menghindari agar pihak yang memberi pinjaman tidak terzolimi, dimana ia telah menolong dengan memberi pinjaman uang. Selain itu juga supaya si pemilik borg tidak lepas tanggung jawab atas perawatan barang miliknya.
Pemberi pinjaman atau penerima borg dapat memanfaatkan borg apabila si pemilik borg tidak bertanggungjawab, pemanfaatannya itu juga hanya sebatas apa yang ia keluarkan untuk mengurusi borg tersebut atau sebatas sesuai dengan biaya yang dikeluarkan dalam perawatan borg tersebut. Penerima borg tidak bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi, kecuali karena kelalaiannya. Contohnya, borg itu berupa motor, dan si penerima borg memanfaatkannya atas seizin pemilik borg kemudian bensinnya habis ataupun roda motor tersebut menjadi gundul tidak sesuai pada awalnya, maka si penerima borg yang memanfaatkan borg tersebut wajib menggantinya (bertanggungjawab).

ETIKA PENAWARAN
Hadits ke-252 Kitab Jual-Beli
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian mencegat barang-barang dagangan yang akan datang, dan janganlah sebagian diantara kalian menawar sesuatu yang sedang ditawar sebagian yang lain, janganlah kalian saling memainkan harga lewat calo pembeli, janganlah orang kota menjual barang bagi orang dusun, janganlah mengikat puting susu kambing (agar kelihatan penuh susunya). Siapa yang ingin membelinya, dia mempunyai hak pilih untuk melihat setelah kembing itu diperahnya. Jika dia suka, maka dia dapat menahannya, dan jika tidak suka (marah), dia dapat mengembalikannya seberta satu sha’ kurma.[5]
Penjelasan Hadits:
Disini yang akan dijelaskan adalah pada kalimat yang di bold, “janganlah sebagian diantara kalian menawar sesuatu yang sedang ditawar sebagian yang lain merupakan larangan Rasulullah Saw. kepada kita untuk membeli ataupun menawar barang yang sedang ditawar atau akan dibeli orang lain. Gambarannya, seorang penjual berkata kepada seseorang yang membeli suatu barang (dari penjual lain) dengan harga sepuluh, “Aku mempunyai barang yang sama dengan harga sembilan”. Hal yang sama juga berlaku untuk penjualan. Gambarannya, seorang pembeli berkata kepada orang yang menjual barangnya (kepada pembeli lain) dengan harga sembilan, “Aku akan membeli barang yang sama dengan harga sepuluh.” Maksudnya, agar transaksi yang pertama dibatalkan lalu beralih mengadakan transaksi dengannya. Letak pengharamannya ialah pada saat ditetapkan hak pilih di tempat atau pilihan dengan syarat, begitu pula setelah ketetapan hak pilih, karena di dalamnya terkandung kerugian dan usaha pembatalan transaksi. Menawar atas barang yang sedang ditawar oleh orang lain atau masih dalam proses tawar menawar kemudian di srobot, memiliki dampak atau akibat yang buruk tentunya, baik untuk pihak pembeli maupun pihak penjual baik dalam hal pembelian ataupun penjualan. Seperti untuk pembeli yang kemudian disrobot tentunya ia akan marah, kecewa bahkan sakit hati dan dendam sedangkan pembeli yang mengalahkan akan timbul rasa semena-mena, sombong pada dirinya. Lebih jauh lagi si pemilik toko akan kehilangan pelanggan lainnya karena akan timbul citra jelek yang kemudian beredar dari pembeli yang merasa kecewa dan sakit hati.
Oleh karenanya, ada baiknya jika kita menghindari hal-hal yang diharamkan atau dilarang yang akan menimbulkan kerugian ataupun kerusakan.
 
NAJSY dalam Jual-Beli
Hadits Nasai 4429
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ

 “melarang dari menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain”
Penjelasan hadits:
Bahwasannya Rasulullah Saw. melarang kita untuk menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain, maksudnya adalah menawar yang dimaksud bukan untuk membeli tetapi mempengaruhi pembeli yang lain supaya pembeli itu membeli barang tersebut dengan harga tinggi yang ditawarkannya. Orang yang tidak berminat untuk membeli dan tidak tertarik hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang berminat untuk tawar menawar sesuai harga yang diinginkan. Sedangkan dalam hadits najsy ini jelas dilarang, dimana ada perhitungan untuk menguntungkan penjual ataupun adanya kesepakatan antara si penjual dengan beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya agar pembeli yang datang menawar dengan harga yang lebih tinggi, tentunya ini haram karena ada unsur penipuan dan mengambil harta dengan cara batil.
Ini dilarang karena yang pertama perbuatan ini perbuatan menipu yang memang dilarang dalam Islam, yang kedua karena dapat menimbulkan harga dari barang tersebut tidak stabil, karena semisal barang tersebut harganya hanya Rp 15.000,- tetapi karena terkecoh harga justru menjadi Rp 20.000,- atau bahkan 30.000,- yang berarti 2x lipatnya ini tentunya akan merusak harga pasar. Apalagi seharusnya sisa dari uang tersebut dapat digunakan untuk membeli kebutuhan lain justru hilang. Dan yang akan ditimbulkan selanjutnya adalah apabila si pembeli asli mengetahui harga sebenarnya maka akan menimbulkan kekecewaan dan ketidak percayaan terhadap penjual atau bahkan memberitahukan kepada pembeli lain untuk tidak berbelanja atau membeli di tempat penjual tersebut yang pada akhirnya si penjual justru akan kehilangan pelanggan lainnya.
Hadits Nasai 4430
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَزِيدُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلْ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ الْأُخْرَى لِتَكْتَفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya & janganlah orang yg tinggal di kota menjual barang untuk orang yg tinggal di pelosok, & janganlah menawar barang untuk mengecoh pembeli, janganlah seseorang menambah atas penjualan saudaranya, & janganlah seorang wanita meminta wanita yg lain dicerai agar ia mendapatkan apa yg ada dalam periuknya.
Penjelasan hadits:
Pada kalimat yang di bold (tebal) yang pertama, adanya larangan untuk menawar barang untuk mengecoh, sama maknanya dengan hadits pertama diatas. Yang selanjutnya adalah larangan kepada kita untuk tidak menambah penjualan saudaranya, maksudnya adalah berpura-pura menawar dengan harga diatas harga yang ditawarkan  kepada pembeli atas jualan saudara kita ataupun orang lain (penjual) supaya pembeli mau membeli dengan harga tawaran tinggi tersebut. Yang terakhir adalah pengharaman bagi seorang wanita meminta kepada suami untuk menceraikan madunya atau membangkitkan kemarahan suami kepada madunya atau memancing percekcokan diantara keduanya agar terjadi keributan diantara keduanya, sehingga suami menceraikan madunya. Hal ini haram karena disana ada kerusakan yang besar, mengakibatkan permusuhan, perselisihan, memutuskan rezeki, yang digambarkan dengan mengambil apa yang ada dalam periuknya. Maksud atau tujuan yang salah inilah yang kemudian dilarang atau diharamkan.
JUAL-BELI DUA HARGA
هى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه رواه الترمذى
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)[6]
Penjelasan Hadits:
Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Rasulullah Saw. mencegah orang yang melakukan 2 penjualan dalam satu barang, artinya tidak boleh ada 2 penjualan dalam satu barang. Maksudnya 2 penjualan dalam satu barang adalah apabila barang tersebut dijual memiliki nilai (harga) yang tidak sama. Contohnya: ketika penjual menjual barang dagangannya menyebutkan 2 harga yang berbeda dalam satu jenis barang, yaitu jika pembeliannya secara cash maka harganya Rp 11.000.000,- sedangkan jika dilakukan pembayaran secara tertangguh maka harganya menjadi Rp 17.500.000,- atau lebih. Ataupun si penjual memberikan syarat dalam penjualannya. Ini tentunya menjadikan harga dari barang itu sendiri menjadi tidak jelas. Apalagi selisih dari kedua harga yang ditetapkan selisihnya begitu jauh. Ketika seseorang yang membeli namun belum memiliki uang cash tentukan harga tersebut akan membawa dampak kecewa ataupun sedih. Bahkan bisa dikatakan bahwa kelebihan dari selisih harga tersebut adalah riba, sedangkan riba sangat diharamkan. Oleh sebab itulah jual beli dua harga dilarang. Adapun jual beli yang berkah menurut Rasulullah Saw. adalah jual beli dengan harga tunai tetapi pelaksanaannya dengan cara kredit. Dikatakan berkah disini adalah, yang pertama karena dengan cara tersebut tentunya konsumen (pembeli) merasa tertolong dan senang yang pada akhirnya akan membuat pembeli itu secara tidak langsung mempromosikan toko penjual secara mulut ke mulut yang kemudian dapat mengurangi biaya promosi yang harus dikeluarkan. Yang kedua, dikatakan berkah karena orang yang menolong akan lebih sedikit atau tidak banyak pengeluaran biaya tak terduga, barangnya selalu laris sehingga sirkulasi barang dan modalpun akan lancar.

KHIYAR
1.      Khiyar Majelis
عن حكيم بن حزام رضى الله عنه قال, قال رسول الله ص.م الببعان الخيار مالم يتفرقا حتى يتفرقا فان صدقا وبين يحارك لهمافى بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البخارى)

Dari Hakim ibn Hizam ra berkata: Rasulullah Saw, dia orang yang berjual beli khiyar (memilih) selama belum berpisah, atau beliau bersabda, sehingga keduanya berpisah, jika keduanya jujur dan terus terang, maka keduanya mendapat berkah dalam berjual beli itu. Jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka dihapuskan berkah jual beli” (HR. Bukhari)[7]
Penjelasan hadits:
Dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. membolehkan kita memilih dalam jual-beli selama belum berpisah, memilih disini berarti memilih untuk membeli ataupun tidak selama belum berpisah disebut sebagai khiyar majelis. Dikatakan juga bahwa bila si pembeli dan penjual sama-sama berlaku jujur dalam jual-beli tersebut maka keduanya mendapat berkah dan jika tidak atau berdusta maka berkah dari jual-beli tersebut hilang atau dihapuskan. Khiyar majelis ini bisa digambarkan ketika kita melakukan tawar-menawar barang, kita memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli yang berlangsung selama belum berpisah (masih ditempatnya) atau masih di toko/lapak penjual tersebut. Sebagai contoh, ada seorang pembeli tetapi awalnya ia tidak ada niat untuk membeli dia menawar dan memilih karena tertarik, maka pembeli tersebut dapat mengatakan atau membatalkan jual-belinya. Ataupun jika si penjual ternyata salah memberikan kode barang, maka pembelian tersebut dapat diteruskan dengan menyesuaikan kode barang tersebut jika pembeli menyepakati ataupun membatalkannya dengan tidak jadi membelinya.
2.      Khiyar Syarat
عن عبد الله بن دينار, انه سمع ابن عمر يقول: قال رسول الله ص.م كل بيعين لابيع بينها حتى يتفرقا الا بيع الخيار (رواه مسلم)
Dari Abdullah ibn Dinar sesungguhnya aku mendengar Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap dua orang yang melakukan jual beli di antara keduanya sehingga ia berpisah kecuali bila jual beli khiyar(HR. Bukhari)
Penjelasan hadits:
Maksud dari hadits diatas adalahketika dua orang yang melakukan jual-beli, yaitu penjual dan pembeli kemudian dia berpisah, jual-beli itu masih bisa diteruskan atau dibatalkan jika jual-beli itu adalah jual beli khiyar. Jual-beli khiyar disini maksudnya adalah khiyar syarat, yaitu jual beli dilakukan berdasarkan syarat, artinya walaupun antara pembeli dan penjual telah berpisah namun hak khiyar masih ada selama persyaratan yang disepakati masih berlaku. Syarat itu bisa si penjual maupun pembeli yang menentukan. Sebagai contoh: apabila si pembeli membeli baju atas pesanan orang lain yang belum tentu pas ukurannya, maka si pembeli berhak bertanya kepada penjual dan mengajukan syarat apakah baju tersebut dapat dikembalikan atau ditukar dengan ukuran yang. Ataupun syarat itu memang sudah diberikan oleh si penjual bahwa barang yang dibeli dapat ditukar atau dikembalikan apabila ukurannya tidak sesuai, hal ini biasanya karena tidak ada kamar pas (tempat untuk mencoba). Khiyar ini dimaksudkan untuk menciptakan antarodhim (suka sama suka) yang sebenar-benarnya.
3.      Khiyar Aib
Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Ashab al-Sunan.
وهو ان رجلا اشترى غلام فى زمان رسول الله ص.م وكان عنده ما شاء الله ثم رده من عيب وجده فقضى رسول الله ص.م برده بالعيب

Bahwa seorang laki-laki membeli seorang budak di masa Rasulullah dan adalah pada diri budak itu terdapat cacat, kemudian perkara itu dihadapkan kepada Rasulullah, maka ketetapan beliau budak itu dikembalikan
Penjelasan hadits:
Diumpamakan dalam hadits tersebut ketika penyerahan seorang budak laki-laki yang ternyata ada cacatnya, maka budak itu dikembalikan. Dapat dipahami bahwa ketika terjadi jual beli dan ternyata barang dari jual beli tersebut ada cacatnya  maka si pembeli dapat mengembalikannya atau membatalkan jual belinya. Jual beli yang demikian disebut jual beli dengan khiyar aib (cacat), yaitu si penjual memiliki hak khiyar jika terdapat aib (cacat) pada objek yang diperjualbelikan. Aib atau cacat disini adalah aib atau cacat bawaan bukan aib yang dibuat-buat. Sebagai contoh: ketika si pembeli telah pulang dan ternyata setelah diteliti dengan seksama, barang yang dibelinya ternyata ada sobek atau pudar warnanya dan cacat tersebut tidak dijelaskan oleh si penjual pada waktu akad jual beli maka si pembeli masih memiliki hak khiyar.

MENCEGAT PENJUAL DI JALAN
Hadits ke- 252 Kitab Jual-Beli
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam melarang mencegat barang dagangan yang datang dan orang kota menjual barang bagi orang dusun,’ Aku (rawi) berkata, “aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa makna perkataannya ‘orang kota menjual barang bagi orang dusun?’ Maka dia menjawab, ‘Tidak boleh ada makelar’.”[8].
Penjelasan hadits:
Lafazh ar-rukban jamak dari rakib, yang maksudnya adalah mencegat para pedagang yang datang ke dalam negeri untuk memborong barang dagangan mereka sebelum para pedagang itu tiba di pasar. Dalam hal ini Rasulullah Saw. melarang pembeli mencegat orang-orang yang hendak menjual makanan atau hewan untuk membeli barang dagangan mereka sebelum mereka tiba di pasar. Karena ketidaktahuan mereka tentang perkembangan nilai barang, boleh jadi mereka dapat ditipu sehingga mereka tidak mendapatkan selisih harga di pasar. Ini berarti pedagang dari kota (yang sudah mengetahui harga pasar) memanfaatkan ketidaktahuan pedagang dari desa, pedagang desa yang dimaksud adalah pedagang yang bertindak sebagai produsen. Hikmah dari pelarangan ini adalah agar mereka (para pedagang dari desa yang belum tahu harga pasar) tidak tertipu, sehingga barang mereka dibeli dengan harga yang lebih murah ketimbang harga pasaran. Lanjutan dari hadits tersebut akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

SIMSAR (CALO) DALAM JUAL-BELI
Hadits ke-253 Kitab Jual-Beli
“.....orang kota menjual barang bagi orang dusun,’ Aku (rawi) berkata, “aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa makna perkataannya ‘orang kota menjual barang bagi orang dusun?’ Maka dia menjawab, ‘Tidak boleh ada makelar’.”[9]
Penjelasan hadits:
Hadits di atas menjelaskan tentang pelarangan praktik percaloan, “tidak boleh ada makelar” karena didalamnya ada unsur memperdayai pembeli, sekaligus menaikkan harga barang lewat penipuan. Praktik percaloan yang dilarang adalah seseorang menikkan harga barang padahal ia tidak ingin membelinya dengan harga tersebut, ia melakukannya untuk kepentingan penjual atau memperdayai pembeli. Calo ini kesannya menolong tapi sikut kanan-kiri yaitu mencari keuntungan dari pemilik barang dan pembeli terlebih lagi seorang calo biasanya melebih-lebihkan spesifikasi dari barang yang dijualkannya, kedudukan calo juga tidak jelas (bukan pembeli juga bukan penjual), yang pada akhirnya akan menurunkan etos kerja, serta membuat orang terzolimi. Dan ketika kita melakukan transaksi dengan calo, calo tidak bertanggungjawab atau lepas tangan dari kewajiban atas barang yang dijualkannya (tidak mau di komplain). Demikianlah kenapa dalam hadits tersebut praktik percaloan dilarang, karena dilihat dari buruknya dampak yang ditimbulkan. Akan tetapi apabila harga pada calo tersebut disesuaikan dengan harga pasar maka dibolehkan.
Namun dalam buku “Halal & Haram dalam Islam” karya Dr. Yusuf Qardhawi pada BAB KESEMBILAN: MUAMALAH (HUBUNGAN PEKERJAAN), dijelaskan bahwa tidak ada salahnya kalau makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang atau persentase dari keuntungan atau apa saja yang mereka sepakati bersama. Ibnu Sirin berkata, “Apabila pedagang berkata kepada makelar; Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedangkan keuntungannya untuk kamu. Atau, ia berkata, “Keuntungannya untuk kamu.” Atau ia berkata, “Keuntungannya bagi dua,” maka hal semacam itu dipandang tidak berdosa. Rasulullah Saw juga pernah bersabda sebagai berikut”
Orang Islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim, dan lain-lain)[10].
Pada pendapat diatas menunjukkan bahwa mereka berlandaskan atas dasar akad yang memang disepakati bersama. Ini berarti bahwa segala sesuatu itu harus didasarkan pada akad dan kesepakatan bersama demi terciptakan antarodhim (suka sama suka) yang sebenar-benarnya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan unsur kejujuran, dimana kita tidak boleh memperdayai pembeli.

MENIMBUN/MONOPOLI (IKHTIKAR)
Sabda Rasulullah Saw:
Siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah, dan Bazzar)[11].
Penjelasan Hadits:
Dikatakan bahwa barang yang diikhtikarkan adalah makanan ataupun sembako (sembilan bahan pokok) jika dilihat sekarang maka tidak harus sembako tetapi juga barang yang memang menjadi kebutuhan primer, seperti saat ini bensin juga dapat dikatakan primer. Sedangkan waktu yang dikatakan ikhtikar/ menimbun adalah 40 malam, kata 40 malam ini adalah waktu proses, yaitu mulai dari membeli, menyimpan, dan menjual. Waktu disini bersifat kondisional, maksudnya adalah apabila dalam waktu 10 hari ataupun 2 hari dari proses tersebut ternyata harga barang melejit naik dan barang langka maka hal tersebut sudah dikatakan sebagai ikhtikar dan dilarang.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda:
Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa dan jika mendengar harga naik, merasa gembira.” (Hadis ini dibawakan oleh Razin dan Jaminya)[12].

Penjelasan hadits:
Dikatakan bahwa manusia yang paling buruk adalah orang yang suka menimbun, karena dalam hal ini sebenarnya hatinya tidak akan tenang, dia akan selalu berfikir bagaimana harga akan selalu mahal supaya ia mampu menjual barang yang ia timbun dengan harga yang setinggi-tingginya, oleh karena itu dikatakan bahwa ketika harga murah ia akan merasa kecewa karena ia tidak ingin barang yang ditimbun harganya menjadi lebih murah. Ia selalu mencari celah untuk menjual barangnya disaat harga melambung tinggi. Hal ini dilarang karena memiliki dampak yang buruk yang cukup besar terhadap perekonomian dalam masyarakat. Dimana ketika barang yang ditimbun adalah barang kebutuhan primer maka masyarakat akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya tersebut karena barang yang dibutuhkan menjadi langka yang secara otomatis karena kelangkaan tersebut maka hargapun menjadi mahal yang tentunya tidak ada lagi keseimbangan harga pasar dimana yang menetukan harga disini bukan lagi pasar tetapi si penimbun. Dampak terbesarnya adalah ketika kelangkaan barang primer tersebut kemudian diikuti dengan kenaikan harga barang lainnya secara keseluruhan maka dalam suatu masyarakat itu secara bertahap akan terjadi inflasi.
Demikianlah kenapa ikhtikar atau menimbun itu dilarang, selain merugikan konsumen ikhtikar juga merugikan para pedagang dengan modal kecil dan masyarakat pada umumnya.

OBJEK JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka ia haramkan pula harganya.”(Riwayat Ahmad dan Abu Daud)[13].
Penjelasan hadits:
Setiap yang diharamkan maka diharamkan pula harganya atau diharamkan juga untuk diperjual-belikan. Ini berarti objek jual beli itu apabila diharamkan maka diharamkan pula untuk  diperjual-belikan.
Apapun kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam. Kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, tetapi dia itu satu macam dari kemaksiatan, maka membeli atau memperdagangkan hukumnya haram, misalnya babi, bangkai, arak, makanan, dan minuman yang diharamkan secara umum, patung, salib, lukisan. Memperdagangkan barang-barang tersebut dapat menimbulkan maksiat, dapat membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia melakukan kemaksiatan. Diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut dapat melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang dari perbuatan maksiat.
Contohnya patung, apabila patung itu diduga dapat menimbulkan kemusyrikan ataupun digunakan untuk beribadah selain Allah, maka menjual ataupun membeli patung itu diharamkan karena mendorong seseorang untuk syirik. Arak atau khamr: yaitu segala yang memabukkan dan menutup akal, ini merupakan objek jual beli yang diharamkan. Khamr merupakan hal yang kotor yang karenanya akal menjadi tidak berfungsi pada diri manusia, padahal dengan nikmat akal inilah Allah memuliakan manusia. Dengan khamr akan menyeret orang dalam berbagai macam kemungkaran dan dosa besar, membangkitkan permusuhan dan kebencian diantara orang-orang muslim, menghalangi dari kebaikan dan dzikir kepada Allah. Baik yang menjual maupun yang membeli khamr dilarang, si penjual dilarang karena dia memudahkan orang untuk memperoleh barang tersebut. Dan barang lain yang diharamkan Allah maka diharamkan pula dalam memperjualbelikannya, karena dampak buruk yang pasti akan ditimbulkan. Demikianlah kenapa Allah mengharamkan menjual/membeli barang-barang yang pada hakekatnya memang diharamkan.

JUAL BELI SALAM
Hadits ke-266 Kitab Jual-Beli
“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, sedang orang-orang biasa melakukan salaf dalam buah-buahan selama setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka beliau bersabda, ‘Siapa melakukan salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia melakukannya dengan timbangan tertentu, takaran tertentu sampai batas waktu tertentu’.[14]
Penjelasan hadits:
Rasulullah Saw. tiba di Madinah saat hijrah, dan beliau mendapati penduduk Madiah biasa melakukan jual beli Salaf atau Salam, yaitu jual beli dengan pembayaran uang dimuka, karena mereka menggeluti cocok tanam dan buah-buahan. Gambarannya, mereka menyerahkan uang pembayaran di muka dan menangguhkan buah yang dijual selama setahun, dua tahun, atau tiga tahun. Rasulullah Saw. menetapkan muamalah ini dan tidak menjadikannya termasuk masalah menjual barang yang belum ada ditangan penjual, yang bisa menjurus kepada penipuan asalkan sesuai dengan syarat dari jual beli salaf yang Rasulullah benarkan. Syarat tersebut yaitu : dengan mengetahui timbangan yang jelas, takaran yang jelas, serta waktu penyerahan barang yang jelas sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Syarat itu muncul akibat adanya kekhawatiran terhadap adanya penipuan karena waktu penyerahan yang belum diketahui. Oleh karena itu dalam jual beli salaf hendaknya antara penjual dan pembeli haruslah membicarakan terlebih dahulu klasifikasi dari barang yang diperjual-belikan secara detail dan menyeluruh, baik kualitas, kadar, kuantitas, bentuk ataupun motif, dan lain-lain dari barang tersebut serta waktu penyerahannya kapan.
Jual beli online juga termasuk jual beli salam dan dibolehkan, membicarakan klasifikasi barang dan kesepakatan kemudian uang dibayarkan dimuka terlebih dahulu disusul dengan penyerahan barang. Jual beli online ini boleh asalkan sesuai dengan syarat dalam jual beli salam.
Mengingat ketatnya aturan dari jual-beli salam ini, diperlukan ketelitian dan kecermatan dari kedua pihak sewaktu melakukan akad. Karena dari akad itulah yang akan menyebabkan sesuai atau tidakkah jualbeli yang dilakukan dengan syarat jual beli salam. Ketika dalam pelaksanaan jual beli salam itu ternyata tidak sesuai, maka jual belinya tidak disebut sebagai jual beli salam.
Jual beli Salam seperti jual beli online ini memberikan kemudahan bagi kedua pihak, dimana pembeli dimudahkan dalam mencari barang yang sesuai dengan seleranya, barang yang dipesan juga terjamin (sesuai keinginan), lebih leluasa dalam memilih serta tidak terkena dampak inflasi juga karena pembayaran dilakukan dimuka. Sedangkan untuk penjual, penjual mendapat kucuran dana segar pastinya, memberikan motifasi untuk berinovasi, selain itu juga penjual tidak perlu repot-repot membawa barang berat, tidak memerlukan tempat luas dalam melakukan jual belinya yang pastinya akan mengurangi cost dan resiko.

JUAL BELI IJON
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim)[15].

Penjelasan hadits:
Rasulullah melarang jual beli ijon, dimana buah-buahan yang diperjual belikan itu masih dalam keadaan yang belum masak. Disebutkan bahwa tanda-tanda buah yang sudah masak adalah memerah dan menghijau serta sudah dapat dimakan. Adapun tanda-tanda masaknya dari buah itu sendiri tentu berbeda-beda, contohnya pada padi maka dia harus sudah menguning (keras bijinya), buah rambutan telah menguning ataupun memerah, anggur hitampun maka ia harus berwarna kehitaman terlebih dahulu, dan buah-buahan lain sesuai bagaimana keadaannya ketika buah itu masak seperti maka buah itu baru dapat di perjual-belikan. Adapun buah yang memang di petik ketika belum masak seperti mangga muda yang masih berwarna hijau untuk petisan, pepaya muda untuk disayur, buah-buahan yang demikian dibolehkan untuk diperjualbelikan sebelum waktunya masak. Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi.
Jual beli ijon dilarang karena dapat merugikan pihak penjual maupun pembeli yaitu kerugian yang mungkin akan ditanggung baik oleh pihak pembeli maupun penjual. Dimana harga ada kemungkinan besar berbeda ketika masa panen yang sebenarnya. Misalkan ketika si pembeli membayarkan uang ketika buah tersebut belum saat panen sebesar Rp 100.000 kemudian saat panen ternyata harganya bisa sampai Rp250.000,- maka pihak pembeli akan mengalami kerugian.
JUAL BELI MENIPU
Hadits Malik 1175
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“melarang jual beli yg di dalamnya ada unsur penipuan”[16]
Penjelasan hadits:
Jelaslah pasti diharamkan, menipu saja dosa apalagi transaksi dengan menipu. Menipu disini bisa saja dengan menyembunyikan kecacatan atau menyembunyikan dari keadaan (kualitas) yang sebenarnya. Ini tentunya akan merugiakan pihak pembeli terutama.


[1] M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Khutbah Jum’at Ekonomi Syariah, (Jakarta: PKES, 2008), hlm.114
[2] Ibid, hlm. 67
[3] Yusuf Qardhawi, Halal & Haram dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000), hlm. 369
[4] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Edisi Revisi cetakan 1, hlm.761
[5] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.677
[8] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.678
[9] Ibid
[10] Yusuf Qardhawi, Halal & Haram dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000), Edisi Revisi, hlm.360-361
[11] Ibid, hlm.356
[12] Ibid, hlm. 357
[13] Yusuf Qardhawi, hlm. 352
[14] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.723

Tidak ada komentar:

Posting Komentar