RIBA
Larangan riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
melainkan dalam 4 tahapan:
1. Menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
39. dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2. Riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan
yang keras kepada orang yang Yahudi yang memakan riba.
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
160. Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah,
161.
dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
3.
Riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda (berdasarkan keadaan saat
diturunkannya ayat banyak dipraktikkan pengambilan riba dengan tingkat cukup
tinggi)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda [228] dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
[228]
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama
bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu
ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
4.
Allah SWT dengan tegas
dan jelas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba)
Ayat
lain mengenai riba adalah : QS. Al-Baqarah: 276.
Larangan
riba dalam Hadits:
“Jabir berkata bahwa Rasulullah Saw, mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan 2 orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu berstatus hukum sama”” (HR. Muslim no. 2995, kitab
al-Masaqqah).
Dari hadits diatas
dijelaskan bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima , membayarnya,
mencatat dan 2 orang saksi dalam riba tersebut yang mereka itu status hukumnya
sama.
Hadits
lainnya:
Diriwayatkan oleh Abu
Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus
dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi
tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima
dan pemberi sama-sama bersalah”.
Penjelasan
hadits:
Bahwasanya ketika kita
melakukan pertukaran barang haruslah dilakukan dengan barang yang sejenis,
dimana kualitas dan kuantitasnya sama seperti yang disebutkan diatas yaitu:
emas dengan emas, perak dengan perak, dan seterusnya dalam hal ini, apabila
menjual emas dengan emas namun dengan takaran atau kadar yang tidak sama maka
dapat disebut sebagai riba. Pengharaman juga berlaku untuk menjual gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam
yang tidak dilakukan secara kontan (cash) dari tangan ke tangan juga dengan
kualitas maupun kuantitas yang berbeda serta dilakukan sebelum pembeli dan
penjual berpisah dari tempat akad. Selain itu dalam melakukan pertukaran
tersebut tidak boleh dengan adanya tambahan, tambahan disini disebut dengan
riba hal tersebut mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad. Baik penerima
maupun pemberi tambahan tersebut sama-sama bersalah. Bahkan dalam hadits lain
dikatakan bahwa Rasulullah memasukkan Riba ke dalam klasifikasi 7 dosa besar.
Dari Abu Hurairah ra.
(diriwayatkan) bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Hindarilah 7
dosa besar yang mencelakakan!” Kepada Rasulullah ditanyakan: “Apa dosa-dosa besar yang dimaksud wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “menyekutukan
Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya secara
tanpa hak, makan harta anak yatim, makan
riba, lari dari medan pertempuran dan mencemarkan nama baik wanita mukmin
yang lengah.” (Riwayat Jamaah Ahli Hadis dan Lafal ini adalah lafal Muslim)[1].
Dosa dari riba itu
sendiri dikatakan lebih besar dari sisi Allah daripada tiga puluh tiga
perzinaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dalam Islam (HR. Al-Hakim), dan
Rasulullah Saw mengisyaratkan bahwa akan datang adzab dan siksa yang merata
dari Allah karena praktek ribawi yang meluas dan dibiarkan tanpa peringatan dan
pencegahan sama sekali:
“Apabila Riba dan Perzinaan telah muncul disuatu daerah berarti mereka
telah menghalalkan bagi dirinya adzab dan siksa (dari Allah).” (HR.
Al-Hakim)[2].
Islam memperkeras
persoalan pengharaman riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia
baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Pengaruh riba begitu
buruk bagi seluruh umat. Contohnya: ketika seseorang bergantung kepada riba
maka akan menghalangi dari kesibukan bekerja, karena ia yakin bahwa dengan melalui
riba ia akan memperoleh tambahan uang baik kontan maupun berjangka, maka ia
akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan sehingga hampir-hampir ia
tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang
berat. Hal semacam itu tentunya dapat memutus bahan keperluan masyarakat[3].
Hendaknya setelah kita
mengetahui begitu besar dampak dari riba itu sendiri, seperti adanya pihak yang
terzolimi, ancaman dan siksa Allah yang merata untuk orang-orang yang
menghalalkan riba kita segera menghindari dan menjauhkan diri dari segala macam
perbuatan yang berhubungan dengan riba.
BORG (Jaminan Hutang)
Ayat yang berkaitan: QS. Al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [180]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan
(borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Ayat diatas merupakan
sebuah anjuran bagi orang yang sedang melaksanakan muamalah tidak secara tunai
dan tidak ada juru tulis maka harus ada borg (barang jaminan) apabila keduanya
saling tidak mempercayai, sedangkan apabila keduanya saling mempercayai maka
hendaknya keduanya itu menunaikan amanatnya yaitu membayar hutang. Kepercayaan
yang paling sempurna ialah jika barang yang digadai berada ditangan orang yang
memberi hutang atau menerima gadai. Dengan kata lain, keadilan yang diridhoi
kedua belah pihak ialah jika barang yang digadaikan berada ditangan orang yang
menerima gadai. Jika barang yang digadaikan tidak berada ditangannya, gadai
juga tetap sah, tapi faedahnya berkurang. Sebab Allah telah menuntun kepada
keadaan yang paling sempurna dan dapat dipercaya[4],
dengan berfirman,
“Hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
Hadits
:
Abu Hurairah ra.
Berkata bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemiliknya yang
menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggungjawabnyalah bila ada
kerugian (atau biaya)” (HR. Syafi’i dan Darutni).
Penjelasan
hadits:
Dijelaskan bahwa barang
jaminan atau borg tersebut tidak boleh ditutupi dari pemiliknya, dalam artian
berarti yang bertanggung jawab atas borg tersebut baik dalam hal pemeliharaan
atau perawatan maupun apabila terjadi kerusakan adalah si pemilik borg atau
peminjam. Hal ini menghindari agar pihak yang memberi pinjaman tidak terzolimi,
dimana ia telah menolong dengan memberi pinjaman uang. Selain itu juga supaya
si pemilik borg tidak lepas tanggung jawab atas perawatan barang miliknya.
Pemberi pinjaman atau
penerima borg dapat memanfaatkan borg apabila si pemilik borg tidak
bertanggungjawab, pemanfaatannya itu juga hanya sebatas apa yang ia keluarkan
untuk mengurusi borg tersebut atau sebatas sesuai dengan biaya yang dikeluarkan
dalam perawatan borg tersebut. Penerima borg tidak bertanggungjawab atas
kerusakan yang terjadi, kecuali karena kelalaiannya. Contohnya, borg itu berupa
motor, dan si penerima borg memanfaatkannya atas seizin pemilik borg kemudian
bensinnya habis ataupun roda motor tersebut menjadi gundul tidak sesuai pada
awalnya, maka si penerima borg yang memanfaatkan borg tersebut wajib
menggantinya (bertanggungjawab).
ETIKA PENAWARAN
Hadits
ke-252 Kitab Jual-Beli
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian mencegat barang-barang dagangan
yang akan datang, dan janganlah sebagian diantara kalian menawar sesuatu
yang sedang ditawar sebagian yang lain, janganlah kalian saling memainkan
harga lewat calo pembeli, janganlah orang kota menjual barang bagi orang dusun,
janganlah mengikat puting susu kambing (agar kelihatan penuh susunya). Siapa
yang ingin membelinya, dia mempunyai hak pilih untuk melihat setelah kembing
itu diperahnya. Jika dia suka, maka dia dapat menahannya, dan jika tidak suka
(marah), dia dapat mengembalikannya seberta satu sha’ kurma.[5]”
Penjelasan
Hadits:
Disini yang akan
dijelaskan adalah pada kalimat yang di bold, “janganlah sebagian
diantara kalian menawar sesuatu yang sedang ditawar sebagian yang lain”
merupakan larangan Rasulullah Saw. kepada kita untuk membeli ataupun menawar
barang yang sedang ditawar atau akan dibeli orang lain. Gambarannya, seorang penjual
berkata kepada seseorang yang membeli suatu barang (dari penjual lain) dengan
harga sepuluh, “Aku mempunyai barang yang sama dengan harga sembilan”. Hal yang
sama juga berlaku untuk penjualan. Gambarannya, seorang pembeli berkata kepada
orang yang menjual barangnya (kepada pembeli lain) dengan harga sembilan, “Aku
akan membeli barang yang sama dengan harga sepuluh.” Maksudnya, agar transaksi
yang pertama dibatalkan lalu beralih mengadakan transaksi dengannya. Letak
pengharamannya ialah pada saat ditetapkan hak pilih di tempat atau pilihan
dengan syarat, begitu pula setelah ketetapan hak pilih, karena di dalamnya
terkandung kerugian dan usaha pembatalan transaksi. Menawar atas barang yang
sedang ditawar oleh orang lain atau masih dalam proses tawar menawar kemudian
di srobot, memiliki dampak atau akibat yang buruk tentunya, baik untuk pihak
pembeli maupun pihak penjual baik dalam hal pembelian ataupun penjualan.
Seperti untuk pembeli yang kemudian disrobot tentunya ia akan marah, kecewa
bahkan sakit hati dan dendam sedangkan pembeli yang mengalahkan akan timbul
rasa semena-mena, sombong pada dirinya. Lebih jauh lagi si pemilik toko akan
kehilangan pelanggan lainnya karena akan timbul citra jelek yang kemudian
beredar dari pembeli yang merasa kecewa dan sakit hati.
Oleh karenanya, ada
baiknya jika kita menghindari hal-hal yang diharamkan atau dilarang yang akan
menimbulkan kerugian ataupun kerusakan.
NAJSY dalam Jual-Beli
Hadits Nasai 4429
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ
“melarang dari menawar barang untuk mengecoh
pembeli yang lain”
Penjelasan hadits:
Bahwasannya Rasulullah Saw. melarang
kita untuk menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain, maksudnya adalah
menawar yang dimaksud bukan untuk membeli tetapi mempengaruhi pembeli yang lain
supaya pembeli itu membeli barang tersebut dengan harga tinggi yang
ditawarkannya. Orang yang tidak berminat untuk membeli dan tidak tertarik
hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung
(pembeli) yang berminat untuk tawar menawar sesuai harga yang diinginkan.
Sedangkan dalam hadits najsy ini jelas dilarang, dimana ada perhitungan untuk
menguntungkan penjual ataupun adanya kesepakatan antara si penjual dengan
beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya agar pembeli yang
datang menawar dengan harga yang lebih tinggi, tentunya ini haram karena ada
unsur penipuan dan mengambil harta dengan cara batil.
Ini dilarang karena yang pertama
perbuatan ini perbuatan menipu yang memang dilarang dalam Islam, yang kedua
karena dapat menimbulkan harga dari barang tersebut tidak stabil, karena
semisal barang tersebut harganya hanya Rp 15.000,- tetapi karena terkecoh harga
justru menjadi Rp 20.000,- atau bahkan 30.000,- yang berarti 2x lipatnya ini
tentunya akan merusak harga pasar. Apalagi seharusnya sisa dari uang tersebut
dapat digunakan untuk membeli kebutuhan lain justru hilang. Dan yang akan
ditimbulkan selanjutnya adalah apabila si pembeli asli mengetahui harga
sebenarnya maka akan menimbulkan kekecewaan dan ketidak percayaan terhadap
penjual atau bahkan memberitahukan kepada pembeli lain untuk tidak berbelanja
atau membeli di tempat penjual tersebut yang pada akhirnya si penjual justru
akan kehilangan pelanggan lainnya.
Hadits Nasai 4430
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى
قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ
أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا
تَنَاجَشُوا وَلَا يَزِيدُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلْ
الْمَرْأَةُ طَلَاقَ الْأُخْرَى لِتَكْتَفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
“Janganlah
seseorang menjual di atas jualan saudaranya & janganlah orang yg tinggal di
kota menjual barang untuk orang yg tinggal di pelosok, & janganlah menawar barang untuk mengecoh pembeli, janganlah seseorang menambah atas penjualan saudaranya, &
janganlah seorang wanita meminta wanita yg lain dicerai agar ia mendapatkan apa
yg ada dalam periuknya.”
Penjelasan hadits:
Pada kalimat yang di bold (tebal) yang
pertama, adanya larangan untuk menawar barang untuk mengecoh, sama maknanya
dengan hadits pertama diatas. Yang selanjutnya adalah larangan kepada kita
untuk tidak menambah penjualan saudaranya, maksudnya adalah berpura-pura
menawar dengan harga diatas harga yang ditawarkan kepada pembeli atas jualan saudara kita
ataupun orang lain (penjual) supaya pembeli mau membeli dengan harga tawaran
tinggi tersebut. Yang terakhir adalah pengharaman bagi seorang wanita meminta
kepada suami untuk menceraikan madunya atau membangkitkan kemarahan suami
kepada madunya atau memancing percekcokan diantara keduanya agar terjadi
keributan diantara keduanya, sehingga suami menceraikan madunya. Hal ini haram
karena disana ada kerusakan yang besar, mengakibatkan permusuhan, perselisihan,
memutuskan rezeki, yang digambarkan dengan mengambil apa yang ada dalam
periuknya. Maksud atau tujuan yang salah inilah yang kemudian dilarang atau
diharamkan.
JUAL-BELI DUA HARGA
هى رسول الله
صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه رواه الترمذى
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari
dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)[6]
Penjelasan Hadits:
Dalam
hadits tersebut dikatakan bahwa Rasulullah Saw. mencegah orang yang melakukan 2
penjualan dalam satu barang, artinya tidak boleh ada 2 penjualan dalam satu
barang. Maksudnya 2 penjualan dalam satu barang adalah apabila barang tersebut
dijual memiliki nilai (harga) yang tidak sama. Contohnya: ketika penjual
menjual barang dagangannya menyebutkan 2 harga yang berbeda dalam satu jenis
barang, yaitu jika pembeliannya secara cash maka harganya Rp 11.000.000,-
sedangkan jika dilakukan pembayaran secara tertangguh maka harganya menjadi Rp
17.500.000,- atau lebih. Ataupun si penjual memberikan syarat dalam
penjualannya. Ini tentunya menjadikan harga dari barang itu sendiri menjadi
tidak jelas. Apalagi selisih dari kedua harga yang ditetapkan selisihnya begitu
jauh. Ketika seseorang yang membeli namun belum memiliki uang cash tentukan
harga tersebut akan membawa dampak kecewa ataupun sedih. Bahkan bisa dikatakan
bahwa kelebihan dari selisih harga tersebut adalah riba, sedangkan riba sangat
diharamkan. Oleh sebab itulah jual beli dua harga dilarang. Adapun jual beli
yang berkah menurut Rasulullah Saw. adalah jual beli dengan harga tunai tetapi
pelaksanaannya dengan cara kredit. Dikatakan berkah disini adalah, yang pertama
karena dengan cara tersebut tentunya konsumen (pembeli) merasa tertolong dan
senang yang pada akhirnya akan membuat pembeli itu secara tidak langsung
mempromosikan toko penjual secara mulut ke mulut yang kemudian dapat mengurangi
biaya promosi yang harus dikeluarkan. Yang kedua, dikatakan berkah karena orang
yang menolong akan lebih sedikit atau tidak banyak pengeluaran biaya tak
terduga, barangnya selalu laris sehingga sirkulasi barang dan modalpun akan
lancar.
KHIYAR
1.
Khiyar
Majelis
عن حكيم بن حزام رضى الله عنه قال, قال رسول الله
ص.م الببعان الخيار مالم يتفرقا حتى يتفرقا فان صدقا وبين يحارك لهمافى بيعهما وان
كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البخارى)
“Dari Hakim ibn Hizam ra berkata: Rasulullah
Saw, dia orang yang berjual beli khiyar
(memilih) selama belum berpisah, atau beliau bersabda, sehingga keduanya
berpisah, jika keduanya jujur dan terus terang, maka keduanya mendapat berkah
dalam berjual beli itu. Jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka dihapuskan
berkah jual beli” (HR. Bukhari)[7]
Penjelasan hadits:
Dijelaskan
bahwa Rasulullah Saw. membolehkan kita memilih dalam jual-beli selama belum
berpisah, memilih disini berarti memilih untuk membeli ataupun tidak selama
belum berpisah disebut sebagai khiyar
majelis. Dikatakan juga bahwa bila si pembeli dan penjual sama-sama berlaku
jujur dalam jual-beli tersebut maka keduanya mendapat berkah dan jika tidak
atau berdusta maka berkah dari jual-beli tersebut hilang atau dihapuskan.
Khiyar majelis ini bisa digambarkan ketika kita melakukan tawar-menawar barang,
kita memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli yang berlangsung
selama belum berpisah (masih ditempatnya) atau masih di toko/lapak penjual
tersebut. Sebagai contoh, ada seorang pembeli tetapi awalnya ia tidak ada niat
untuk membeli dia menawar dan memilih karena tertarik, maka pembeli tersebut
dapat mengatakan atau membatalkan jual-belinya. Ataupun jika si penjual
ternyata salah memberikan kode barang, maka pembelian tersebut dapat diteruskan
dengan menyesuaikan kode barang tersebut jika pembeli menyepakati ataupun
membatalkannya dengan tidak jadi membelinya.
2.
Khiyar
Syarat
عن عبد الله بن دينار, انه سمع ابن عمر يقول: قال
رسول الله ص.م كل بيعين لابيع بينها حتى يتفرقا الا بيع الخيار (رواه مسلم)
“Dari Abdullah
ibn Dinar sesungguhnya aku mendengar Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Tiap-tiap dua orang yang melakukan jual beli di antara keduanya
sehingga ia berpisah kecuali bila jual
beli khiyar”(HR. Bukhari)
Penjelasan
hadits:
Maksud dari hadits
diatas adalahketika dua orang yang melakukan jual-beli, yaitu penjual dan
pembeli kemudian dia berpisah, jual-beli itu masih bisa diteruskan atau
dibatalkan jika jual-beli itu adalah jual beli khiyar. Jual-beli khiyar disini
maksudnya adalah khiyar syarat, yaitu jual beli dilakukan berdasarkan syarat,
artinya walaupun antara pembeli dan penjual telah berpisah namun hak khiyar
masih ada selama persyaratan yang disepakati masih berlaku. Syarat itu bisa si
penjual maupun pembeli yang menentukan. Sebagai contoh: apabila si pembeli
membeli baju atas pesanan orang lain yang belum tentu pas ukurannya, maka si
pembeli berhak bertanya kepada penjual dan mengajukan syarat apakah baju
tersebut dapat dikembalikan atau ditukar dengan ukuran yang. Ataupun syarat itu
memang sudah diberikan oleh si penjual bahwa barang yang dibeli dapat ditukar
atau dikembalikan apabila ukurannya tidak sesuai, hal ini biasanya karena tidak
ada kamar pas (tempat untuk mencoba). Khiyar ini dimaksudkan untuk menciptakan antarodhim (suka sama suka) yang
sebenar-benarnya.
3.
Khiyar
Aib
Diriwayatkan oleh Imam
Syafi’i dan Ashab al-Sunan.
وهو ان رجلا اشترى غلام فى زمان رسول الله ص.م
وكان عنده ما شاء الله ثم رده من عيب وجده فقضى رسول الله ص.م برده بالعيب
“Bahwa seorang
laki-laki membeli seorang budak di
masa Rasulullah dan adalah pada diri budak itu terdapat cacat, kemudian perkara itu dihadapkan kepada Rasulullah,
maka ketetapan beliau budak itu dikembalikan”
Penjelasan hadits:
Diumpamakan
dalam hadits tersebut ketika penyerahan seorang budak laki-laki yang ternyata
ada cacatnya, maka budak itu dikembalikan. Dapat dipahami bahwa ketika terjadi
jual beli dan ternyata barang dari jual beli tersebut ada cacatnya maka si pembeli dapat mengembalikannya atau
membatalkan jual belinya. Jual beli yang demikian disebut jual beli dengan
khiyar aib (cacat), yaitu si penjual memiliki hak khiyar jika terdapat aib
(cacat) pada objek yang diperjualbelikan. Aib atau cacat disini adalah aib atau
cacat bawaan bukan aib yang dibuat-buat. Sebagai contoh: ketika si pembeli
telah pulang dan ternyata setelah diteliti dengan seksama, barang yang
dibelinya ternyata ada sobek atau pudar warnanya dan cacat tersebut tidak
dijelaskan oleh si penjual pada waktu akad jual beli maka si pembeli masih
memiliki hak khiyar.
MENCEGAT PENJUAL DI JALAN
Hadits
ke- 252 Kitab Jual-Beli
“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
melarang mencegat barang dagangan yang datang dan orang kota menjual barang
bagi orang dusun,’ Aku (rawi) berkata, “aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa
makna perkataannya ‘orang kota menjual barang bagi orang dusun?’ Maka dia
menjawab, ‘Tidak boleh ada makelar’.”[8].
Penjelasan
hadits:
Lafazh ar-rukban jamak dari rakib, yang maksudnya adalah mencegat
para pedagang yang datang ke dalam negeri untuk memborong barang dagangan
mereka sebelum para pedagang itu tiba di pasar. Dalam hal ini Rasulullah Saw.
melarang pembeli mencegat orang-orang yang hendak menjual makanan atau hewan
untuk membeli barang dagangan mereka sebelum mereka tiba di pasar. Karena
ketidaktahuan mereka tentang perkembangan nilai barang, boleh jadi mereka dapat
ditipu sehingga mereka tidak mendapatkan selisih harga di pasar. Ini berarti
pedagang dari kota (yang sudah mengetahui harga pasar) memanfaatkan
ketidaktahuan pedagang dari desa, pedagang desa yang dimaksud adalah pedagang
yang bertindak sebagai produsen. Hikmah dari pelarangan ini adalah agar mereka
(para pedagang dari desa yang belum tahu harga pasar) tidak tertipu, sehingga
barang mereka dibeli dengan harga yang lebih murah ketimbang harga pasaran. Lanjutan
dari hadits tersebut akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
SIMSAR (CALO) DALAM JUAL-BELI
Hadits
ke-253 Kitab Jual-Beli
“.....orang
kota menjual barang bagi orang dusun,’ Aku (rawi) berkata, “aku bertanya kepada
Ibnu Abbas, ‘Apa makna perkataannya ‘orang kota menjual barang bagi orang
dusun?’ Maka dia menjawab, ‘Tidak boleh
ada makelar’.”[9]
Penjelasan
hadits:
Hadits di atas menjelaskan
tentang pelarangan praktik percaloan, “tidak
boleh ada makelar” karena didalamnya ada unsur memperdayai pembeli, sekaligus
menaikkan harga barang lewat penipuan. Praktik percaloan yang dilarang adalah
seseorang menikkan harga barang padahal ia tidak ingin membelinya dengan harga
tersebut, ia melakukannya untuk kepentingan penjual atau memperdayai pembeli.
Calo ini kesannya menolong tapi sikut kanan-kiri yaitu mencari keuntungan dari
pemilik barang dan pembeli terlebih lagi seorang calo biasanya melebih-lebihkan
spesifikasi dari barang yang dijualkannya, kedudukan calo juga tidak jelas
(bukan pembeli juga bukan penjual), yang pada akhirnya akan menurunkan etos
kerja, serta membuat orang terzolimi. Dan ketika kita melakukan transaksi
dengan calo, calo tidak bertanggungjawab atau lepas tangan dari kewajiban atas
barang yang dijualkannya (tidak mau di komplain). Demikianlah kenapa dalam
hadits tersebut praktik percaloan dilarang, karena dilihat dari buruknya dampak
yang ditimbulkan. Akan tetapi apabila harga pada calo tersebut disesuaikan
dengan harga pasar maka dibolehkan.
Namun dalam buku “Halal
& Haram dalam Islam” karya Dr. Yusuf Qardhawi pada BAB KESEMBILAN: MUAMALAH
(HUBUNGAN PEKERJAAN), dijelaskan bahwa tidak ada salahnya kalau makelar itu
mendapatkan upah kontan berupa uang atau persentase dari keuntungan atau apa
saja yang mereka sepakati bersama. Ibnu Sirin berkata, “Apabila pedagang
berkata kepada makelar; Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedangkan
keuntungannya untuk kamu. Atau, ia berkata, “Keuntungannya untuk kamu.” Atau ia
berkata, “Keuntungannya bagi dua,”
maka hal semacam itu dipandang tidak berdosa. Rasulullah Saw juga pernah
bersabda sebagai berikut”
“Orang Islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri.”
(Riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim, dan
lain-lain)[10].
Pada pendapat diatas
menunjukkan bahwa mereka berlandaskan atas dasar akad yang memang disepakati
bersama. Ini berarti bahwa segala sesuatu itu harus didasarkan pada akad dan
kesepakatan bersama demi terciptakan antarodhim (suka sama suka) yang
sebenar-benarnya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan unsur kejujuran, dimana
kita tidak boleh memperdayai pembeli.
MENIMBUN/MONOPOLI (IKHTIKAR)
Sabda Rasulullah Saw:
“Siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh
Allah tidak lagi perlu kepadanya.” (Riwayat
Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah, dan Bazzar)[11].
Penjelasan
Hadits:
Dikatakan bahwa barang
yang diikhtikarkan adalah makanan ataupun sembako (sembilan bahan pokok) jika
dilihat sekarang maka tidak harus sembako tetapi juga barang yang memang
menjadi kebutuhan primer, seperti saat ini bensin juga dapat dikatakan primer.
Sedangkan waktu yang dikatakan ikhtikar/ menimbun adalah 40 malam, kata 40
malam ini adalah waktu proses, yaitu mulai dari membeli, menyimpan, dan
menjual. Waktu disini bersifat kondisional, maksudnya adalah apabila dalam
waktu 10 hari ataupun 2 hari dari proses tersebut ternyata harga barang melejit
naik dan barang langka maka hal tersebut sudah dikatakan sebagai ikhtikar dan
dilarang.
Dalam hadits lain,
Rasulullah Saw bersabda:
“Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika dia
mendengar harga murah, merasa kecewa dan jika mendengar harga naik, merasa
gembira.” (Hadis ini dibawakan oleh
Razin dan Jaminya)[12].
Penjelasan
hadits:
Dikatakan bahwa manusia
yang paling buruk adalah orang yang suka menimbun, karena dalam hal ini
sebenarnya hatinya tidak akan tenang, dia akan selalu berfikir bagaimana harga
akan selalu mahal supaya ia mampu menjual barang yang ia timbun dengan harga
yang setinggi-tingginya, oleh karena itu dikatakan bahwa ketika harga murah ia
akan merasa kecewa karena ia tidak ingin barang yang ditimbun harganya menjadi
lebih murah. Ia selalu mencari celah untuk menjual barangnya disaat harga
melambung tinggi. Hal ini dilarang karena memiliki dampak yang buruk yang cukup
besar terhadap perekonomian dalam masyarakat. Dimana ketika barang yang
ditimbun adalah barang kebutuhan primer maka masyarakat akan kesulitan dalam
memenuhi kebutuhannya tersebut karena barang yang dibutuhkan menjadi langka
yang secara otomatis karena kelangkaan tersebut maka hargapun menjadi mahal
yang tentunya tidak ada lagi keseimbangan harga pasar dimana yang menetukan
harga disini bukan lagi pasar tetapi si penimbun. Dampak terbesarnya adalah
ketika kelangkaan barang primer tersebut kemudian diikuti dengan kenaikan harga
barang lainnya secara keseluruhan maka dalam suatu masyarakat itu secara
bertahap akan terjadi inflasi.
Demikianlah kenapa
ikhtikar atau menimbun itu dilarang, selain merugikan konsumen ikhtikar juga
merugikan para pedagang dengan modal kecil dan masyarakat pada umumnya.
OBJEK JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka ia haramkan pula
harganya.”(Riwayat Ahmad dan Abu
Daud)[13].
Penjelasan
hadits:
Setiap yang diharamkan
maka diharamkan pula harganya atau diharamkan juga untuk diperjual-belikan. Ini
berarti objek jual beli itu apabila diharamkan maka diharamkan pula untuk diperjual-belikan.
Apapun kebiasaan yang
berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam.
Kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, tetapi dia itu satu macam
dari kemaksiatan, maka membeli atau memperdagangkan hukumnya haram, misalnya
babi, bangkai, arak, makanan, dan minuman yang diharamkan secara umum, patung,
salib, lukisan. Memperdagangkan barang-barang tersebut dapat menimbulkan
maksiat, dapat membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan
manusia melakukan kemaksiatan. Diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut
dapat melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang dari perbuatan
maksiat.
Contohnya patung,
apabila patung itu diduga dapat menimbulkan kemusyrikan ataupun digunakan untuk
beribadah selain Allah, maka menjual ataupun membeli patung itu diharamkan
karena mendorong seseorang untuk syirik. Arak atau khamr: yaitu segala yang
memabukkan dan menutup akal, ini merupakan objek jual beli yang diharamkan.
Khamr merupakan hal yang kotor yang karenanya akal menjadi tidak berfungsi pada
diri manusia, padahal dengan nikmat akal inilah Allah memuliakan manusia.
Dengan khamr akan menyeret orang dalam berbagai macam kemungkaran dan dosa
besar, membangkitkan permusuhan dan kebencian diantara orang-orang muslim,
menghalangi dari kebaikan dan dzikir kepada Allah. Baik yang menjual maupun
yang membeli khamr dilarang, si penjual dilarang karena dia memudahkan orang untuk
memperoleh barang tersebut. Dan barang lain yang diharamkan Allah maka
diharamkan pula dalam memperjualbelikannya, karena dampak buruk yang pasti akan
ditimbulkan. Demikianlah kenapa Allah mengharamkan menjual/membeli
barang-barang yang pada hakekatnya memang diharamkan.
JUAL BELI SALAM
Hadits
ke-266 Kitab Jual-Beli
“Dari
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, sedang orang-orang biasa melakukan salaf
dalam buah-buahan selama setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka beliau
bersabda, ‘Siapa melakukan salaf dalam
sesuatu, maka hendaklah dia
melakukannya dengan timbangan tertentu, takaran tertentu sampai batas waktu
tertentu’.[14]”
Penjelasan
hadits:
Rasulullah Saw. tiba di
Madinah saat hijrah, dan beliau mendapati penduduk Madiah biasa melakukan jual
beli Salaf atau Salam, yaitu jual beli dengan pembayaran uang dimuka, karena mereka
menggeluti cocok tanam dan buah-buahan. Gambarannya, mereka menyerahkan uang
pembayaran di muka dan menangguhkan buah yang dijual selama setahun, dua tahun,
atau tiga tahun. Rasulullah Saw. menetapkan muamalah ini dan tidak
menjadikannya termasuk masalah menjual barang yang belum ada ditangan penjual,
yang bisa menjurus kepada penipuan asalkan sesuai dengan syarat dari jual beli
salaf yang Rasulullah benarkan. Syarat tersebut yaitu : dengan mengetahui
timbangan yang jelas, takaran yang jelas, serta waktu penyerahan barang yang
jelas sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.
Syarat itu muncul akibat adanya kekhawatiran terhadap adanya penipuan karena
waktu penyerahan yang belum diketahui. Oleh karena itu dalam jual beli salaf
hendaknya antara penjual dan pembeli haruslah membicarakan terlebih dahulu klasifikasi
dari barang yang diperjual-belikan secara detail dan menyeluruh, baik kualitas,
kadar, kuantitas, bentuk ataupun motif, dan lain-lain dari barang tersebut
serta waktu penyerahannya kapan.
Jual beli online juga
termasuk jual beli salam dan dibolehkan,
membicarakan klasifikasi barang dan kesepakatan kemudian uang dibayarkan dimuka
terlebih dahulu disusul dengan penyerahan barang. Jual beli online ini boleh
asalkan sesuai dengan syarat dalam jual beli salam.
Mengingat ketatnya
aturan dari jual-beli salam ini,
diperlukan ketelitian dan kecermatan dari kedua pihak sewaktu melakukan akad.
Karena dari akad itulah yang akan menyebabkan sesuai atau tidakkah jualbeli
yang dilakukan dengan syarat jual beli salam.
Ketika dalam pelaksanaan jual beli salam itu ternyata tidak sesuai, maka jual
belinya tidak disebut sebagai jual beli salam.
Jual beli Salam seperti jual beli online ini
memberikan kemudahan bagi kedua pihak, dimana pembeli dimudahkan dalam mencari
barang yang sesuai dengan seleranya, barang yang dipesan juga terjamin (sesuai
keinginan), lebih leluasa dalam memilih serta tidak terkena dampak inflasi juga
karena pembayaran dilakukan dimuka. Sedangkan untuk penjual, penjual mendapat
kucuran dana segar pastinya, memberikan motifasi untuk berinovasi, selain itu
juga penjual tidak perlu repot-repot membawa barang berat, tidak memerlukan
tempat luas dalam melakukan jual belinya yang pastinya akan mengurangi cost dan
resiko.
JUAL BELI IJON
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ
حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ
مِنْهَا
“Nabi saw. melarang buah dijual
hingga tusyqih,
Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau
serta (bisa) dimakan darinya.” (HR
Bukhari dan Muslim)[15].
Penjelasan hadits:
Rasulullah melarang
jual beli ijon, dimana buah-buahan yang diperjual belikan itu masih dalam
keadaan yang belum masak. Disebutkan bahwa tanda-tanda buah yang sudah masak
adalah memerah dan menghijau serta sudah dapat dimakan. Adapun tanda-tanda
masaknya dari buah itu sendiri tentu berbeda-beda, contohnya pada padi maka dia
harus sudah menguning (keras bijinya), buah rambutan telah menguning ataupun
memerah, anggur hitampun maka ia harus berwarna kehitaman terlebih dahulu, dan
buah-buahan lain sesuai bagaimana keadaannya ketika buah itu masak seperti maka
buah itu baru dapat di perjual-belikan. Adapun buah yang memang di petik ketika
belum masak seperti mangga muda yang masih berwarna hijau untuk petisan, pepaya
muda untuk disayur, buah-buahan yang demikian dibolehkan untuk diperjualbelikan
sebelum waktunya masak. Ada
juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang
panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu
sudah mulai layak untuk dikonsumsi.
Jual beli ijon dilarang
karena dapat merugikan pihak penjual maupun pembeli yaitu kerugian yang mungkin
akan ditanggung baik oleh pihak pembeli maupun penjual. Dimana harga ada
kemungkinan besar berbeda ketika masa panen yang sebenarnya. Misalkan ketika si
pembeli membayarkan uang ketika buah tersebut belum saat panen sebesar Rp
100.000 kemudian saat panen ternyata harganya bisa sampai Rp250.000,- maka
pihak pembeli akan mengalami kerugian.
JUAL BELI MENIPU
Hadits
Malik 1175
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ
دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“melarang jual beli yg
di dalamnya ada unsur penipuan”[16]
Penjelasan
hadits:
Jelaslah pasti diharamkan, menipu saja
dosa apalagi transaksi dengan menipu. Menipu disini bisa saja dengan
menyembunyikan kecacatan atau menyembunyikan dari keadaan (kualitas) yang
sebenarnya. Ini tentunya akan merugiakan pihak pembeli terutama.
[1] M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Khutbah
Jum’at Ekonomi Syariah, (Jakarta: PKES, 2008), hlm.114
[2] Ibid, hlm. 67
[3] Yusuf Qardhawi, Halal &
Haram dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000), hlm. 369
[4] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002),
Edisi Revisi cetakan 1, hlm.761
[5] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.677
[8] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.678
[9] Ibid
[10] Yusuf Qardhawi, Halal &
Haram dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000), Edisi Revisi, hlm.360-361
[11] Ibid, hlm.356
[12] Ibid, hlm. 357
[13] Yusuf Qardhawi, hlm. 352
[14] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hlm.723
Tidak ada komentar:
Posting Komentar