Selasa, 14 Januari 2014

PERANAN RAHN DAN KAFALAH DALAM RISIKO PEMBIAYAAN BANK ISLAM



Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang berbasis syariah Islam. Ada ungkapan menarik, “bank adalah mesin risiko: mereka mengambil risiko, mentransformasi, dan kemudian melekatkannya pada produk dan jasa yang diberikannya”. Jauh sebelum itu, Islam telah mendefinisikan konsep risiko dan usaha dengan sangat bagus sekali. Dalam suatu hadits disebutkan, “al ghunmu bil ghurmi” artinya keuntungan melekat padanya risiko.
Dalam konteks teori keuangan, kaidah fikih “al ghunmu bil ghurmi” tersebut dikenal dengan istilah “risk-return trade-off” artinya makin besar imbal balik yang kita harapkan maka makin besar pula risiko yang harus kita tanggung. Sebaliknya, makin besar risiko yang kita tanggung, maka seharusnya makin besar imbal balik yang kita minta. Dalam perspektif persaingan, proses menyeleksi debitur dan menetapkan “harga”, berdasarkan profil risiko dan kontribusiya terhadap portofolio pembiayaan bank Islam, haruslah menjadi isu penting.[1]
Kelompok akad pembiayaan berbasis utang, yakni qardhul hasan, jual-beli muajjmal, salam, istishna’, dan ijarah memiliki karakteristik bahwa nilai yang tercantum dalam kontrak harus dilunasi oleh debitur. Setelah disepakati nilainya, maka tidak ada lagi pertambahan nilai setelahnya.[2]
Sekali bank menetapkan margin dan menyetujui kontrak pembiayaan yang diajukan debitur, bank tidak dapat lagi mengalihkan dananya untuk membiayai proposal lain dikemudian hari. Meskipun menawarkan margin lebih besar akibat perubahan kondisi pasar, kecuali jika menggunakan sumber pendanaan lain. Konsekuensinya adalah selain mempertimbangkan profil risiko dan imbal hasil dari debitur, bank perlu memperkirakan potensi munculnya biaya peluang dikemudian hari dalam menetapkan margin jual beli.
Salah satu cara untuk meminimalisir risiko pembiayaan bank Islam atau yang kita kenal dengan proses mitigasi bank Islam adalah dengan adanya rahn dan kafalah.
Rahn secara harfiah adalah tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa saja yang disebut dengan barang jaminan, agunan, cagar, atau tangguhan.[3] Akad rahn diartikan sebagai sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau menaklukan penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diterimanya.[4] Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah/2: 283. Serta hadits yaitu, Anas Ra. berkata, “Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga Beliau” (HR. Bukhori, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).[5]
Rukun Al-Rahn ada empat, yaitu:
a)      pelaku terdiri atas orang yang menggadaikan (rahin), dan orang yang menerima gadai (murtahin)
b)      objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun)
c)      utang (marhun bih) syarat utang wajib dikembalikan oleh debitur kepada kreditur, utang itu dapat dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas (spesifik)
d)     ijab kabul/serah terima
Ketentuan Syari’ah, yaitu:
1.    pelaku, harus cakap hukum dan baligh
2.    objek yang di gadaikan (marhun)
a.    barang gadai (marhun)
Ø dapat dijual dan nilainya seimbang
Ø harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
Ø harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
Ø tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b.    utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal jatuh temponya
3.    ijab kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling ridho/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara komunikasi modern.[6]
Sedangkan kafalah secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan za’amah. Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makhul). Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab orang lain sebagai pinjaman[7]. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin, atau dengan kata lain pihak bank mendapatkan jasa sebagai pertanggungan terhadap nasabah yang melakukan pekerjaan.[8] Penerapan Kafalah sesuai dengan hadits Nabi Riwayat Bukhari no. 2127, kitab al-Hiwalah[9]:
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).
Rukun dan Syarat kafalah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a)      pihak penjamin (Kafiil)
Ø baligh (dewasa) dan berakal sehat
Ø berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut
b)      pihak orang yang berutang (ashiil, makfuul ‘anhu)
Ø sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
Ø dikenal oleh penjamin
c)      pihak orang yang berpiutang (makfuul lahu)
Ø diketahui identitasnya
Ø dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa
Ø berakal sehat
d)     obyek penjaminan (makful bihi)
Ø merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda maupun pekerjaan
Ø bisa dilaksanakan oleh penjamin
Ø harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
Ø harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
Ø tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).[10]

Dalam Islam, akad penangguhan (utang) sangat dianjurkan untuk dicatat dan dihadirkan saksi atasnya. Dalam rangka menghindarkan pihak yang menjamini dari kemudharatan, yakni tidak kembalinya uang yang dipinjamkan, bank diperbolehkan meminta agunan (rahn) dan jaminan (kafalah) kepada debitur.
Agunan rahn merujuk pada harta yang dijaminkan oleh debitur. Sedangkan jaminan (kafalah), merujuk pada jaminan yang diberikan pihak ketiga bahwa pihak ketiga tersebut akan menanggung pelunasan utang dari debitur jika debitur gagal bayar, karena sebab pailit (ability to pay) atau kabur (willingness to pay). Dalam kondisi ini, penjamin (kaafil) memiliki kedudukan yang sama dengan debitur pada waktu pelunasan. Artinya bahwa jika debitur gagal bayar, bank berhak menuntut pelunasan utang ke penjamin. Jika keduanya enggan untuk membayar, maka bank berhak mengajukan keduanya ke hakim (qadhi) untuk dimintai pertanggungjawaban, seperti disita hartanya dan kemudian dilelang atau dihukum penjara sebagai bentuk pelajaran.
Terkait agunan (rahn), bank dapat menahan fisik harta, surat kepemilikan atau keduanya. Dalam hal menahan fisik harta, bank tidak diperbolehkan memanfaatkan harta tersebut untuk mengambil keuntungan. Misalnya, seorang petani datang ke bank untuk meminjam uang sebesar Rp 100 juta selama 2 tahun. Untuk itu, petani tersebut menggunakan sebidang sawah seluas 1 hektar kepada bank. Skema agunan yang mungkin dilakukan oleh bank adalah (i) hanya meminta sertifikat tanah dan kemudian disimpan oleh bank, (ii) meminta sertifikat tanah dan sekaligus meminta hak pengelolaan tanah kepada petani. Terkait kondisi kedua, bank tidak diperbolehkan untuk mengelola sawah tersebut sebagai bentuk agunan. Jika tetap dilakukan, setiap keuntungan yang muncul dari pengelolaan sawah tersebut adalah riba yang terlarang. Selain itu, pengambilalihan hak pengelolaan sawah menjadikan petani kehilangan sumber pendapatan untuk mengembalikan utangnya. Kalaupun bank ingin mengelola sawah tersebut, maka harus dibuat akad terpisah antara utang dan syirkah pengelolaan sawah. Bank pun tidak diperbolehkan menjadikan utang si petani sebagai modal syirkah tersebut. Penggunaan utang sebagai modal merupakan hilah menuju riba nasi’ah.
Ketika debitur mengalami gagal bayar, dan bank menginginkan kembalinya modal secepatnya, likuidasi harta yang diagunkan menjadi solusi terbaik (win-win solution). Likuidasi agunan diperlukan agar tidak terjadi kemudharatan.
Terkait likuidasi agunan, perlu diingat bahwa hak kepemilikan harta yang diagunkan adalah tetap milik debitur. Hal ini berarti bahwa idealnya, debiturlah yang seharusnya melikuidasi harta agunan tersebut dan hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibannya. Secara teknis, dengan izin debitur bank dapat membantu menjualkan harta agunan. Ketika debitur enggan menjualnya, maka sebaiknya yang menjual harta agunan tersebut adalah hakim untuk menghindari konflik kepentingan. Adapun mekanismenya, lazimnya menggunakan pendekatan lelang, meskipun ini bukan satu-satunya cara. Bisa saja debitur berinisiatif mencarikan calon pembeli atau bank yang mencarikan dan disetujui harganya oleh debitur.
Setelah harga barang agunan disepakati atau ditentukan melalui mekanisme lelang, bank hanya berhak atas sisa utang (liabilitas) dari debitur. Tanpa ada denda atau penalti apapun. Kelebihan nilai likuidasi tetap menjadi milik debitur dan bank atau hakim wajib menyerahkannya. Sebaliknya, jika ada kekurangan maka debitur tetap berkewajiban melunasinya. Mengingat pentingnya fugsi agunan dan jaminan, perlu dilakukan kebijakan mitigasi yang tepat, seperti pemilihan harta yang dapat diagunkan, sistem penilaian harga wajar dan espektasi perubahan harga ke depan, analisis ketersediaan pasar jika barang agunan dilikuidasi, hingga penetapan pagu (limit) pembiayaan berdasarkan nilai wajar agunan.[11]
Itulah alasan mengapa rahn dan kafalah dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen mitigasi risiko dalam pembiayaan bank Islam. Dengan adanya agunan dan penjamin tersebut bank dapat meminimalisir  risiko pembiayaan yang dihadapinya. Selain rahn dan kafalah jelas dasar hukumnya dan diperbolehkan dalam Islam, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang harus dipegang bank Islam, dengan adanya rahn dan kafalah bank dapat mengurangi kekhawatirannya terhadap dampak gagal bayar yang dilakukan nasabah. Nasabah pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk melunasi utangnya karena ada jaminan yang dipegang oleh bank, bank juga dapat mengurangi kerugian apabila nasabah kabur, dan dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin setidaknya risiko akan dampak gagal bayar menjadi lebih minim.










[1] Imam Wahyudi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat,2013), h.81-82.
[2] Ibid, h.94.
[3] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Jndonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h.245.
[4] Ibid, h.246.
[5] Loc. Cit.
[6] Sri Nurhayati dan Wasilah, Op. Cit, h.247.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 123.
[8] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
[9] Op.Cit, h. 124.
[11] Imam Wahyudi, dkk, Op. Cit, h. 95-96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar