Relevansi Etika Bisnis Islam (EBI)
dengan Kenyataan di Pasar
Ketika
kita pergi berbelanja atau ke pasar untuk membeli sesuatu tentunya kita akan
mengetahui segala macam bentuk transaksi ataupun jual beli yang terkadang tidak
sesuai dengan prinsip ataupun nilai-nilai yang terkandung dalam ebi. Berikut
akan dikemukakan tindakan atau transaksi yang ditemui di pasar (tempat
bertemunya penjual dengan pembeli dalam suatu transaksi) yang tidak sesuai
dengan ebi.
Pernah
suatu ketika saya ditawarkan oleh salah seorang teman saya yang kebetulan dia
adalah salah satu distributor dari sebuah brand (disamarkan) yang sudah hampir
semua kalangan muda maupun mahasiswa mengetahuinya. Ketika itu kebetulan saya
memang memiliki niat untuk membeli sebuah tas, dan teman saya itu memberikan
sebuah brosur yang disertai dengan jenis-jenis produk dan harganya. Saya tertarik
dengan sebuah tas namun harganya begitu mahal, sedangkan saya tak ingin membeli
sesuatu yang tidak diimbangi dengan kemampuan membeli. Lalu saya bertanya, “harganya
bisa dimiringin gk *...?” “bisa, kamu mau tawar berapa?” “ya, saya gak bisa
nawar, harga pasnya ajalah.” “200 ribu ya..” “yah, kemahalan itu, dikurangilah”
“wah udah gk bisa kurang. Gak balik modal nanti, saya belinya segitu, benerlah
dipasaran juga harganya segitu”. Karena saya tidak biasa beli tas sehingga
tidak mengetahui harga yang pas untuk brand tersebut, maka saya beli lah tas itu
dengan harga 200 ribu yang pada brosur tertera harga 260ribu. Ternyata teman
saya yang lainnya berkata dengan saya, “tas yang kamu beli itu ya dipasar Cuma
100, ada malah yang mirip-miriplah Cuma 68. Kamu itu dibohongi”. Bahkan diapun
berniat u/ membuktikan kepada saya dengan pergi langsung ke toko, alangkah
terkejutnya saya, ternyata tas tersebut harganya memang hanya 100ribu.
Dari ilustrasi di atas, terlihat
sangat jelas bahwa kebanyakan penjual akan nemawarkan harga jual barang dengan
harga yang berlipat dari harga sebenarnya. Sehingga sulit untuk menebak harga
aslinya, apalagi jelas bahwa hal diatas terdapat unsur penipuan dimana penjual
menyembunyikan harga aslinya selain itu juga menimbulkan kekecewaan pada
pembeli. Fenomena ini juga menimbulkan berbagai intrik, baik dari si penjual
maupun pembeli. Bagi si penjual, bahasa yang digunakan selalu meyakinkan yang
kadang sering dijumpai di pasar dibumbui dengan kebohongan, misalnya “Harga pokokpun
belum kembali”, atau “Wah, itu jauh dari harga” dan seterusnya, yang kesemuanya
dalam rangka meyakinkan si pembeli. Sedangkan bagi si pembeli, bahasa yang
muncul terkadang merayu atau juga memaksa dengan berpura-pura pergi. Jika si
penjual memanggilnya lagi maka berarti harga masih bisa ditawar, jika tidak,
berarti memang benar harga barang tersebut demikian, sehingga tidak dapat
ditawar lagi.
Padahal
di dalam etika bisnis islam seperti kita ketahui yang telah diajarkan dan
ditanamkan oleh Rasulullah Saw. adalah dimana ketika kita bermuamalah haruslah
sisertai dengan kejujuran (transparansi), kepercayaan (tidak saling mencurigai)
serta adanya antharadim minkum (suka sama suka diantara kedua belah pihak/
penjual dan pembeli). Sedang hal diatas, si penjual melakukan penipuan dengan
menyembunyikan harga sebenarnya, si pembelipun akhirnya merasa kecewa (tidak
ada antharadimnya). Selain itu, ketika si pembeli maupun penjual di pasar
mengeluarkan kata-kata rayuan yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan
kecurigaan diantara keduanya sama sekali tidak sesuai dengan etika bisnis islam.
Dalam hal tawar menawar jual beli, betapa indahnya jika dibungkus dengan etika
bisnis. Jika seorang pedagang menjelaskan harga pokok sebuah tas dengan harga
tertentu dan mengambil keuntungan dengan bilangan tertentu dengan
mempertimbangkan biaya transportasi, sewa tempat dan seterusnya, maka tidaklah
mungkin pembeli merasa keberatan dengan harga yang ditawarkan.
Alangkah
baiknya jika dalam bermuamalah kita juga menerapkan prinsip-prinsip yang telah
Rasulullah contohkan, yaitu: tauhid, kehendak bebas, keseimbangan, serta
tangung jawab (responsibility)
Dengan
demikian, tidak terjadi spekulasi antara penjual dengan pembeli dalam tawar
menawar, lebih dari itu terjadi hubungan persaudaraan yang indah antara penjual
dan pembeli, sebab keduanya saling membutuhkan dan merasa terbantu. Bukan
sebaliknya, terjadi kecurigaan dan bahkan tak jarang penipuan dalam rangka
mencari keuntungan dan kesempatan yang justru pada akhirnya akan membawa pada
kerugian di dunia maupun akhirat, karena sesungguhnya apa yang kita perbuat
nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya (al-mudatsir: 38).
Betapa
indahnya cara Rasulullah Saw. menjajakan barang dagangannya dengan memilah
jenis barang berdasarkan kualitas dengan menetapkan harga sesuai dengan
kualitas barang. Tidak ada kualitas dan harga barang yang ditutupi Rasulullah
Saw. Semuanya berdasarkan harga yang wajar sesuai dengan kualitas barang,
sehingga membuat masing-masing pihak yang bertransaksi merasa nyaman dan
tenang, bukan saling mencurigai.
Selain yang saya alami diatas,
adapula kegiatan muamalah di pasar yang sering kita jumpai tidak sesuai dengan
etika bisnis Rasulullah, yaitu:
Mengurangi
takaran atau timbangan, hal ini sangat sering dijumpai tidak hanya di pasar
tradisional, di pasar modernpun seperti swalayan sering dijumpai. Hal ini
adalah fakta yang paling sering kita jumpai di pasar. Perilaku pedagang yang
seperti ini tentunya sangat bertentangan dengan EBI.
Tak
jarang ketika kita membeli sesuatu kemudian menimbangnya kembalinya ternyata
takarannya tidak pas, kadang berkurang dan kadang berlebih. Namun, tidak semua
pedagang yang ada di pasar berperilaku demikian. Ada juga pedagang yang memang
jujur dan menerapkan EBI dalam bermuamalahnya walaupun saat ini sangat jarang
kita jumpai. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan profit dan kehidupan
dunia tanpa memikirkan akhirat.
Oleh
karena itu, ada baiknya setelah kita mengetahui etika bisnis islam kemudian
kita melaksanakannya dan menanamkannya kepada orang lain. (Ali Imron: 104)
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
104. dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar