Bank Syariah adalah
lembaga keuangan yang berbasis syariah Islam. Ada ungkapan menarik, “bank
adalah mesin risiko: mereka mengambil risiko, mentransformasi, dan kemudian
melekatkannya pada produk dan jasa yang diberikannya”. Jauh sebelum itu, Islam
telah mendefinisikan konsep risiko dan usaha dengan sangat bagus sekali. Dalam
suatu hadits disebutkan, “al ghunmu bil
ghurmi” artinya keuntungan melekat padanya risiko.
Dalam konteks
teori keuangan, kaidah fikih “al ghunmu
bil ghurmi” tersebut dikenal dengan istilah “risk-return trade-off” artinya makin besar imbal balik yang kita
harapkan maka makin besar pula risiko yang harus kita tanggung. Sebaliknya,
makin besar risiko yang kita tanggung, maka seharusnya makin besar imbal balik
yang kita minta. Dalam perspektif persaingan, proses menyeleksi debitur dan
menetapkan “harga”, berdasarkan profil risiko dan kontribusiya terhadap
portofolio pembiayaan bank Islam, haruslah menjadi isu penting.[1]
Kelompok akad
pembiayaan berbasis utang, yakni qardhul
hasan, jual-beli muajjmal, salam, istishna’, dan ijarah memiliki karakteristik bahwa nilai yang tercantum dalam
kontrak harus dilunasi oleh debitur. Setelah disepakati nilainya, maka tidak
ada lagi pertambahan nilai setelahnya.[2]
Sekali bank
menetapkan margin dan menyetujui kontrak pembiayaan yang diajukan debitur, bank
tidak dapat lagi mengalihkan dananya untuk membiayai proposal lain dikemudian
hari. Meskipun menawarkan margin lebih besar akibat perubahan kondisi pasar,
kecuali jika menggunakan sumber pendanaan lain. Konsekuensinya adalah selain
mempertimbangkan profil risiko dan imbal hasil dari debitur, bank perlu
memperkirakan potensi munculnya biaya peluang dikemudian hari dalam menetapkan
margin jual beli.
Salah
satu cara untuk meminimalisir risiko pembiayaan bank Islam atau yang kita kenal
dengan proses mitigasi bank Islam
adalah dengan adanya rahn dan kafalah.
Rahn secara harfiah
adalah tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa saja yang disebut dengan barang jaminan, agunan,
cagar, atau tangguhan.[3]
Akad rahn diartikan sebagai sebuah
perjanjian pinjaman dengan jaminan atau menaklukan penahanan harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diterimanya.[4]
Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah/2: 283. Serta hadits
yaitu, Anas Ra. berkata, “Rasulullah Saw
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil
darinya gandum untuk keluarga Beliau” (HR. Bukhori, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu
Majah).[5]
Rukun Al-Rahn ada empat, yaitu:
a)
pelaku terdiri atas
orang yang menggadaikan (rahin), dan orang
yang menerima gadai (murtahin)
b)
objek akad berupa
barang yang digadaikan (marhun)
c)
utang (marhun bih) syarat utang wajib
dikembalikan oleh debitur kepada kreditur, utang itu dapat dilunasi dengan
agunan tersebut, dan utang itu harus jelas (spesifik)
d)
ijab kabul/serah terima
Ketentuan Syari’ah,
yaitu:
1.
pelaku, harus cakap
hukum dan baligh
2.
objek yang di gadaikan
(marhun)
a.
barang gadai (marhun)
Ø dapat dijual dan nilainya seimbang
Ø harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
Ø harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
Ø tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b.
utang (marhun bih), nilai utang harus jelas
demikian juga tanggal jatuh temponya
3.
ijab kabul, adalah
pernyataan dan ekspresi saling ridho/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang
dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara
komunikasi modern.[6]
Sedangkan
kafalah secara etimologi berarti penjaminan.
Kafalah mempunyai padanan kata yang
banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan za’amah. Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makhul). Dalam pengertian lain, kafalah
juga berarti mengalihkan tanggung jawab orang lain sebagai pinjaman[7].
Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin,
atau dengan kata lain pihak bank mendapatkan jasa sebagai pertanggungan
terhadap nasabah yang melakukan pekerjaan.[8]
Penerapan Kafalah sesuai dengan hadits
Nabi Riwayat Bukhari no. 2127, kitab al-Hiwalah[9]:
“Telah
dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan.
Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab,
‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah
pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah
berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka
Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR.
Bukhari dari Salamah bin Akwa’).
Rukun dan Syarat kafalah yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut:
a) pihak
penjamin (Kafiil)
Ø baligh
(dewasa) dan berakal sehat
Ø berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut
b) pihak
orang yang berutang (ashiil, makfuul ‘anhu)
Ø sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
Ø dikenal
oleh penjamin
c) pihak
orang yang berpiutang (makfuul lahu)
Ø diketahui
identitasnya
Ø dapat
hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa
Ø berakal
sehat
d) obyek
penjaminan (makful bihi)
Ø merupakan
tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda maupun pekerjaan
Ø bisa
dilaksanakan oleh penjamin
Ø harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan
Ø harus
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
Ø tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).[10]
Dalam Islam,
akad penangguhan (utang) sangat dianjurkan untuk dicatat dan dihadirkan saksi
atasnya. Dalam rangka menghindarkan pihak yang menjamini dari kemudharatan,
yakni tidak kembalinya uang yang dipinjamkan, bank diperbolehkan meminta agunan
(rahn) dan jaminan (kafalah) kepada debitur.
Agunan rahn merujuk pada harta yang dijaminkan
oleh debitur. Sedangkan jaminan (kafalah),
merujuk pada jaminan yang diberikan pihak ketiga bahwa pihak ketiga tersebut
akan menanggung pelunasan utang dari debitur jika debitur gagal bayar, karena
sebab pailit (ability to pay) atau
kabur (willingness to pay). Dalam
kondisi ini, penjamin (kaafil)
memiliki kedudukan yang sama dengan debitur pada waktu pelunasan. Artinya bahwa
jika debitur gagal bayar, bank berhak menuntut pelunasan utang ke penjamin.
Jika keduanya enggan untuk membayar, maka bank berhak mengajukan keduanya ke
hakim (qadhi) untuk dimintai
pertanggungjawaban, seperti disita hartanya dan kemudian dilelang atau dihukum
penjara sebagai bentuk pelajaran.
Terkait agunan (rahn), bank dapat menahan fisik harta,
surat kepemilikan atau keduanya. Dalam hal menahan fisik harta, bank tidak
diperbolehkan memanfaatkan harta tersebut untuk mengambil keuntungan. Misalnya,
seorang petani datang ke bank untuk meminjam uang sebesar Rp 100 juta selama 2
tahun. Untuk itu, petani tersebut menggunakan sebidang sawah seluas 1 hektar
kepada bank. Skema agunan yang mungkin dilakukan oleh bank adalah (i) hanya
meminta sertifikat tanah dan kemudian disimpan oleh bank, (ii) meminta
sertifikat tanah dan sekaligus meminta hak pengelolaan tanah kepada petani.
Terkait kondisi kedua, bank tidak diperbolehkan untuk mengelola sawah tersebut
sebagai bentuk agunan. Jika tetap dilakukan, setiap keuntungan yang muncul dari
pengelolaan sawah tersebut adalah riba yang terlarang. Selain itu,
pengambilalihan hak pengelolaan sawah menjadikan petani kehilangan sumber
pendapatan untuk mengembalikan utangnya. Kalaupun bank ingin mengelola sawah
tersebut, maka harus dibuat akad terpisah antara utang dan syirkah pengelolaan sawah. Bank pun tidak diperbolehkan menjadikan
utang si petani sebagai modal syirkah tersebut.
Penggunaan utang sebagai modal merupakan hilah
menuju riba nasi’ah.
Ketika debitur
mengalami gagal bayar, dan bank menginginkan kembalinya modal secepatnya,
likuidasi harta yang diagunkan menjadi solusi terbaik (win-win solution). Likuidasi agunan diperlukan agar tidak terjadi
kemudharatan.
Terkait
likuidasi agunan, perlu diingat bahwa hak kepemilikan harta yang diagunkan
adalah tetap milik debitur. Hal ini berarti bahwa idealnya, debiturlah yang
seharusnya melikuidasi harta agunan tersebut dan hasilnya digunakan untuk
melunasi kewajibannya. Secara teknis, dengan izin debitur bank dapat membantu
menjualkan harta agunan. Ketika debitur enggan menjualnya, maka sebaiknya yang
menjual harta agunan tersebut adalah hakim untuk menghindari konflik kepentingan.
Adapun mekanismenya, lazimnya menggunakan pendekatan lelang, meskipun ini bukan
satu-satunya cara. Bisa saja debitur berinisiatif mencarikan calon pembeli atau
bank yang mencarikan dan disetujui harganya oleh debitur.
Setelah harga
barang agunan disepakati atau ditentukan melalui mekanisme lelang, bank hanya
berhak atas sisa utang (liabilitas)
dari debitur. Tanpa ada denda atau penalti apapun. Kelebihan nilai likuidasi
tetap menjadi milik debitur dan bank atau hakim wajib menyerahkannya. Sebaliknya,
jika ada kekurangan maka debitur tetap berkewajiban melunasinya. Mengingat
pentingnya fugsi agunan dan jaminan, perlu dilakukan kebijakan mitigasi yang
tepat, seperti pemilihan harta yang dapat diagunkan, sistem penilaian harga
wajar dan espektasi perubahan harga ke depan, analisis ketersediaan pasar jika
barang agunan dilikuidasi, hingga penetapan pagu (limit) pembiayaan berdasarkan
nilai wajar agunan.[11]
Itulah alasan
mengapa rahn dan kafalah dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen mitigasi risiko
dalam pembiayaan bank Islam. Dengan adanya agunan dan penjamin tersebut bank
dapat meminimalisir risiko pembiayaan
yang dihadapinya. Selain rahn dan kafalah jelas dasar hukumnya dan
diperbolehkan dalam Islam, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip syariah
yang harus dipegang bank Islam, dengan adanya rahn dan kafalah bank
dapat mengurangi kekhawatirannya terhadap dampak gagal bayar yang dilakukan
nasabah. Nasabah pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk melunasi utangnya
karena ada jaminan yang dipegang oleh bank, bank juga dapat mengurangi kerugian
apabila nasabah kabur, dan dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin
setidaknya risiko akan dampak gagal bayar menjadi lebih minim.
[1]
Imam Wahyudi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba
Empat,2013), h.81-82.
[2]
Ibid, h.94.
[3]
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi
Syariah di Jndonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h.245.
[4]
Ibid, h.246.
[5]
Loc. Cit.
[6]
Sri Nurhayati dan Wasilah, Op. Cit, h.247.
[7]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 123.
[8]
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
[9]
Op.Cit, h. 124.
[11]
Imam Wahyudi, dkk, Op. Cit, h. 95-96.